Image default
Kupas tuntas

Transaksi Janggal Akibat Telat Respons Sejak 2009

Laporan kejanggalan sesekali direspons ketika sudah tercium publik sesudah diakumulasikan semua melibatkan 460 orang lebih di kementerian itu yang akumulasi terhadap transaksi yang mencurigakan itu bergerak di sekitar Rp.300 Triliun, tapi sejak tahun 2009 karena laporan tidak di-update, tidak diberi informasi respons

 

PERINGATAN: Artikel ini mengandung konten eksplisit yang dapat memicu tekanan emosional dan mental bagi pembaca. Kami menyarankan anda tidak meneruskan membacanya. Kami lebih menyarankan artikel ini dibaca oleh penegak hukum Indonesia.
Oleh Imam S Ahmad Bashori Al-Muhajir
Team Investigasi dan Reportase Mafia Hukum
 

 

Kontroversi.or.id: Menko Polhukam Mahfud MD menyinggung transaksi mencurigakan dari 160 laporan sejak tahun 2009 senilai Rp. 300 Triliun di tubuh Kementerian Keuangan (Kemenkeu).

“Itu tahun 2009 sampai 2023 ada 160 laporan lebih sejak itu, itu tidak ada kemajuan informasinya”, kata Mahfud kepada wartawan di Kampus UII Jalan Kaliurang Km 14,5 Sleman Yogyakarta. (Rabu,8/3/2023).

 

Tidak ditindaklanjuti

Ratusan laporan itu tidak ditindaklanjuti. Dia mengatakan laporan tersebut baru ditindaklanjuti usai heboh harta eks pejabat Ditjen Pajak Kemenkeu Rafael Alun Trisambodo.

“Akumulasi terhadap transaksi yang mencurigakan bergerak di sekitar Rp 300 triliun. Tapi sejak tahun 2009 karena laporan tidak di-update tidak diberi informasi respons”, jelasnya.

 

Respons muncul sesudah menjadi kasus

“Respons itu muncul sesudah menjadi kasus. Kayak yang Rafael. Rafael itu jadi kasus, lalu dibuka. Ini sudah dilaporkan dulu kok didiemin”, sambungnya.

Harta Rafael senilai Rp 56 miliar disorot usai anaknya, Mario Dandy Satriyo (20), menganiaya David Ozora (17). Mario yang berstatus mahasiswa itu kerap pamer mobil Rubicon hingga motor Harley-Davidson di media sosial, tapi Rubicon dan Harley tak ada di LHKPN Rafael.

Mahfud mengatakan KPK sudah menelisik dugaan transaksi mencurigakan ini. Awalnya transaksi itu ditemukan senilai Rp. 500 Miliar.

“Pertama KPK sudah mulai menelisik satu-satu, kemudian saya juga sudah menyampaikan laporan lain di luar yang Rp. 500 Miliar”, kata Mahfud.

Mahfud, selaku Ketua Tim Penggerak Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), mengatakan transaksi itu harus segera dilacak. Hal ini katanya sudah menjadi atensi PPATK.

“Kemarin ada 69 orang (pegawai DJP) dengan nilai hanya nggak sampai triliunan, hanya ratusan miliar. Sekarang hari ini sudah ditemukan lagi kira-kira Rp. 300 Triliun itu harus dilacak. Saya sudah sampaikan kepada Bu Sri Mulyani, PPATK juga sudah nyampaikan”, tegasnya.

 

Melibatkan 460 orang

Laporan kejanggalan sesekali direspons ketika sudah tercium publik seperti kasus pejabat Direktorat Jenderal Pajak Rafael Alun Trisambodo atau Eks Direktur Pemeriksaan dan Penagihan Ditjen Pajak, Angin Prayitno Aji yang terseret kasus suap pajak.

“Sesudah diakumulasikan semua melibatkan 460 orang lebih di kementerian itu yang akumulasi terhadap transaksi yang mencurigakan itu bergerak di sekitar Rp300 triliun, tapi sejak tahun 2009 karena laporan tidak di-update, tidak diberi informasi respons”, sambungnya.

Mahfud mensinyalir laporan yang tak direspons itu adalah buntut kesibukan di kementerian tersebut.

“Itu saya kira karena kesibukan yang luar biasa sehingga perlu sistem aja, menurut saya”, imbuh dia.

Dirinya turut mengapresiasi Menteri Keuangan Sri Mulyani yang bersedia mengusut laporan transaksi janggal ini, saat kementerian keuangan empat kali berganti pucuk kepemimpinan sejak 2009.

 

Sudah diserahkan ke PPATK 

Pernyataan Menko Polhukam Mahfud Md diatas yang mengungkap adanya transaksi janggal senilai Rp. 300 Triliun di tubuh Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengaku telah menyerahkan data transaksi mencurigakan itu ke Kemenkeu.

“Sudah kami serahkan ke Kemenkeu sejak 2009 sampai dengan 2023”, kata Kepala PPATK Ivan Yustiavandana. (Rabu,8/3/2023).

Ivan tidak merinci transaksi Ratusan Triliun itu melibatkan berapa orang di Kementerian Keuangan.

Mahfud sebelumnya mengungkap adanya dugaan transaksi mencurigakan di tubuh Kemenkeu. Transaksi itu disebut bernilai mencapai Rp 300 triliun.

Sebuah upaya menggelorakan semangat menuju cita-cita Indonesia yang lebih baik.

Banyak yang Indonesia punya, banyak pula yang Indonesia perbuat. Semua harus disampaikan dan perlu disebarkan. Agar kita tahu dan mau berbuat lebih banyak untuk Indonesia. Menjadi lebih baik, terpandang di mata dunia.

Pemaksaan paparan 

Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Ivan Yustiavandana dipanggil oleh Komisi III DPR untuk menghadiri rapat dengar pendapat terkait heboh transaksi mencurigakan Rp. 349 Triliun di lingkungan Kementerian Keuangan (Kemenkeu).

Dalam rapat tersebut, Ivan dipaksa untuk memaparkan hal-hal yang ingin disampaikan di hadapan para anggota dan pimpinan Komisi III DPR.

Ivan mengawali pemaparannya pada pukul 15.28 WIB. Dirinya terlihat membacakan poin-poin paparannya dengan terburu-buru.

Delapan menit kemudian, Ivan menyatakan dirinya telah selesai memberi pemaparan kepada Komisi III DPR.

Melihat cepatnya paparan yang disampaikan oleh Ivan, Wakil Ketua Komisi III DPR Ahmad Sahroni selaku pimpinan rapat terkejut.

Karena pemaparan yang PPATK berikan kepada mereka terkait transaksi yang membuat Indonesia heboh itu tidak sampai 10 menit.

 

Kejadian 10 tahun dipaparkan 8 menit 

Dalam pemaparannya, Ivan membeberkan catatan-catatan milik PPATK dalam rentang 2002-2022.

Dia menyebutkan, PPATK telah menerima 268 juta laporan dari pihak pelapor.

“Dengan rincian 227,9 juta laporan transaksi transfer dana dari dan keluar negeri, 39,2 juta laporan transaksi keuangan tunai, 742 ribu laporan transaksi keuangan mencurigakan, 445 ribu laporan transaksi penyedia barang dan jasa, dan 4.599 laporan penundaan transaksi,” ujar Ivan. (Selasa,21/3/2023).

“Kami juga telah menerima 1.250 pengaduan masyarakat yang efektif sebagai data tambahan dan pemicu dalam proses analisis dan pemeriksaan pencucian uang”, sambungnya.

Tidak lama kemudian, pemaparan yang Ivan berikan berakhir. Sahroni pun terkejut.

dampak akibat transaksi mencurigakan Rp 349 triliun di Kemenkeu saja membuat Indonesia hampir hancur. Sementara, Ivan tidak butuh waktu sampai 10 menit untuk merespons kejadian tersebut.

“Wah ini mantap juga nih, enggak sampai 10 menit susah selesai. Tapi (karena) Rp 349 triliun republik ini hampir pecah,” kata Sahroni.

Namun, Sahroni menyebut hal tersebut tidak masalah.

Dirinya melihat apa yang PPATK lakukan ini merupakan tanda keterbukaan sistem meski terkait aspek masalah keuangan.

“Memang harus dibiasain terbuka, Pak. Keterbukaan informasi,” ucapnya.

Hanya saja, Sahroni berharap kisruh soal transaksi Rp 349 triliun ini bisa diselesaikan.

Apabila dugaan kejahatan di Kemenkeu itu tidak benar, Sahroni meminta kepada PPATK untuk menyampaikan fakta itu kepada publik.

“Kalau memang yang disampaikan PPATK ke Pak Menko (Mahfud) terkait dengan nilai asumsi transaksi sampai Rp 349 triliun itu akhirnya tidak terbukti TPPU, mestinya juga disampaikan ke publik dengan seterang benderang. Supaya negara ini tidak gaduh dengan apa yang menjadi informasi belum tentu benar”, jelas Sahroni.

 

Tidak akan disampaikan 

Ivan menegaskan transaksi mencurigakan Rp 349 triliun yang sedang ramai saat ini merupakan tindak pidana pencucian uang (TPPU).

Ivan menyebut, apabila angka itu bukan merupakan TPPU, pasti dia tidak akan melaporkannya.

“PPATK yang diekspos itu TPPU atau bukan?. Yang Rp. 300 Triliun itu TPPU?”, tanya Wakil Ketua Komisi III DPR Desmond.

“TPPU, pencucian uang. Itu hasil analisis dan hasil pemeriksaan, tentunya TPPU. Jika tidak ada TPPU, tidak akan kami sampaikan,” jawab Ivan secara tegas.

 

Menghapus PPNS Depkeu

Mendengar jawaban Ivan, Desmond menanyakan apakah itu artinya transaksi mencurigakan Rp 349 triliun di Kemenkeu merupakan kejahatan yang dilakukan kementerian tersebut atau bukan.

Ivan mengatakan itu bukan berarti Kemenkeu melakukan kejahatan sebesar Rp 300 triliun.

“Jadi ada kejahatan di Departemen Keuangan, gitu?” tanya Desmond.

“Bukan. Dalam posisi Departemen Keuangan sebagai penyidik tindak pidana asal sesuai dengan Pasal 74 Undang-Undang Nomor 8/2010 disebutkan di situ penyidik tindak pidana asal adalah penyidik TPPU, dan di penjelasannya dikatakan bahwa Bea Cukai dan Direktorat Jenderal adalah penyidik tindak pidana asal”, ucap Ivan.

 

Importir bukan wilayah Depkeu

Ivan memaparkan bahwa nilai Rp 349 triliun yang merupakan transaksi janggal tidak semuanya terjadi di Kemenkeu.

Akan tetapi, ada kasus lain yang berkaitan dengan ekspor-impor hingga perpajakan yang dilaporkan ke Kemenkeu.

Sebab, Kemenkeu memang juga memiliki tugas sebagai penyidik asal untuk menangani tindak pidana.

“Jadi Rp 349.874.187.502.987 ini tidak semuanya bicara tentang tindak pidana yang dilakukan oleh Kemenkeu, bukan di Kemenkeu. Tapi terkait dengan tugas pokok dan fungsi Kemenkeu sebagai penyidik tindak pidana asal,” papar Ivan.

“Itu kebanyakan terjadi dengan kasus impor, ekspor, kasus perpajakan. Dalam satu kasus saja kalau kita bicara ekspor-impor itu bisa ada lebih dari Rp 100 triliun, lebih dari Rp 40 triliun, itu bisa melibatkan,” sambungnya.

Kesalahan kalimat 

Maka dari itu, Ivan menekankan tindak pidana pencucian uang lebih dari Rp. 300 Triliun itu tidak bisa diartikan terjadi di Kemenkeu.

Ivan mengaku ada kesalahan kalimat yang disampaikan kepada masyarakat terkait transaksi mencurigakan Rp 300 triliun ini.

“Jadi sama sekali tidak bisa diterjemahkan kejadian tindak pidana itu di Kemenkeu. Jadi kalimat ‘di Kemenkeu’ itu kalimat yang salah. Itu yang menjadi tugas pokok dan fungsi Kemenkeu. Sama kalau kita menyampaikan ke kepolisian,” beber Ivan.

 

Mahfud boleh membuka laporan PPATK tersebut ke publik

Anggota Komisi III DPR Fraksi Demokrat Benny K Harman curiga ada motif politik di balik Mahfud yang mengungkap laporan PPATK terkait transaksi janggal Rp 349 triliun di lingkungan Kemenkeu. Benny pun mencecar Ivan.

Benny bertanya kepada Ivan soal adanya permintaan Mahfud terkait laporan transaksi mencurigakan tersebut.

Melihat posisi Mahfud sebagai Ketua Komite Nasional Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), Ivan selaku sekretaris pun memberikan laporannya.

“Kami sampaikan lis agregatnya dan sampaikan ke beliau sebagai Sekretaris Komite Nasional,” kata Ivan.

“Lalu beliau umumkan ke publik, anda tahu?” tanya Benny.

“Saya dengar di media. Saya tahu,” jawab Ivan.

 

Punya niat politik yang tidak sehat

Benny mempertanyakan soal boleh tidaknya Mahfud membuka laporan PPATK tersebut ke publik.

Menurut Ivan, Mahfud boleh menyampaikan data Rp 349 triliun itu ke publik.

Benny lantas mencecar Ivan perihal dasar pasal apa yang membolehkan laporan analisis PPATK itu dibuka ke publik.

Dia bahkan mencurigai adanya kepentingan politik di balik pengungkapan tersebut.

“Kalau anda katakan itu boleh, tunjukkan ke saya pasal berapa dalam UU. Sebab kalau tidak, saudara Menko Polhukam dan Anda juga sebetulnya punya niat politik yang tidak sehat, mau memojokkan Kemenkeu atau sejumlah tokoh di Kemenkeu. Itu yang saudara lakukan. Coba tunjukkan ke saya,” cecar Benny.

“Yang jadi referensi kami adalah Perpres 6/2012,” kata Ivan.

“Pasal?” tanya Benny.

“Ini turunan dari Pasal 92 Ayat 2,” ucap Ivan.

Pada akhirnya, Ivan menepis kalau ada motif politik di balik pengungkapan transaksi janggal di Kemenkeu ini.

 

GFC Rp 1 triliun untuk satu kasus

Temuan Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK) terkait dana Rp 1 triliun hasil kejahatan lingkungan yang mengalir ke anggota partai politik (parpol) dinilai membahayakan.

Pakar Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) Yenti Ganarsih menyebut dana hasil kejahatan tersebut membahayakan apabila ke depan digunakan untuk keperluan Pemilu 2024.

Dikhawatirkan pengguna dana tersebut apabila sudah berkuasa tidak bisa diharapkan untuk membuat perubahan karena kadung terikat dengan penyumbang dana yang bersumber dari hasil kejahatan.

“Ini bahaya sekali. Apapun yang dicanangkan ke depan enggak akan tercapai kecuali keinginan para penyumbang itu. Sementara penyumbangnya adalah hasil kejahatan”, ujar Yenti dalam acara. (Jumat,17/3/2023).

Menurut Yenti, siapapun sosok pengguna dana hasil kejahatan tersebut tetap tidak bisa diharapkan karena mereka menggunakan dana yang berasal dari hasil kejahatan.

Yenti menilai dana tersebut masuk kategori TPPU.

“Siapa yang dicalonkan bukan berarti mereka yang melakukan kejahatan, mereka disumbang oleh para penjahat yang menyalurkan uang hasik kejahatannya, itu adalah posisi pencucian uangnya”, tegas Yenti.

 

Mengalir ke partai politik

Sebelumnya, Plt Deputi Analisis dan Pemeriksaan PPATK, Danang Tri Hartono menyebut, sedikitnya uang Rp. 1 Triliun hasil kejahatan lingkungan mengalir ke partai politik untuk pembiayaan Pemilu 2024.

“Terkait GFC (green financial crime) ini. Ada yang mencapai Rp 1 triliun (untuk) satu kasusnya dan itu alirannya ke mana, ada yang ke anggota partai politik,” kata Danang dalam Rapat Koordinasi Tahunan PPATK di Jakarta, Kamis (19/1/2023).

 

Untuk link aplikasi Kontroversi bisa klik link berikut ini https://bit.ly/2UXs6Cf

 

Konten ini bisa berubah sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan terlebih dahulu

 

Jika berhasil tidak dipuji,
Jika gagal dicaci maki.
Jika hilang tak akan dicari,
Jika mati tak ada yang mengakui

 

Ingin Berkontribusi?

Masuk menggunakan akun microsite anda, apabila belum terdaftar silakan klik tombol di bawah.

 Kontroversi

Kanal Data dan Berita Kontroversi Mencerahkan

Sebuah media kontroversi yang mempromosikan penyajian dan pembahasan topik-topik terkini  yang progresif dan kontekstual. Hadir sebagai respon atas maraknya pembahasan topik-topik yang kaku dan konservatif

Kontroversi tidak memberikan saran atau panduan untuk melakukan menyimpang atau melakukan tindakan ilegal lainnya. Kontroversi dirancang untuk memberikan informasi dan solusi yang berguna dan etis. Kontroversi mendukung praktik yang sesuai dengan hukum dan etika dalam pengumpulan, pengolahan, dan penggunaan data.

Jika Anda memiliki kekhawatiran tentang penyimpangan atau pelanggaran hukum lainnya yang tersuguh dalam pemberian informasi kontroversi, Anda harus berkonsultasi dengan ahli hukum atau lembaga bantuan hukum hukum yang berwenang untuk mendapatkan saran yang tepat dan sesuai dengan hukum dan etika.

 

Independensi adalah Ruh Kontroversi. Sejak berdiri pada 4 November 2002, kami menjunjung tinggi jurnalisme yang tidak berpihak pada kepentingan politik mana pun.

Dalam setiap pemberitaan (cetak maupun online), redaksi Kontroversi selalu berikhtiar mencari kebenaran meski di tempat-tempat yang tak disukai.Karena itu, kami konsisten memilih pendekatan jurnalisme investigasi.

Hanya dengan metode penyelidikan yang gigih dan sistematis, kami berharap bisa melayani publik dengan informasi yang benar mengenai skandal maupun pelanggaran terstruktur yang merugikan khalayak ramai.

Tentu kami tak akan bisa menjalani misi ini tanpa Anda. Dukungan Anda sebagai pelanggan Kontroversi akan membuat kami lebih independen dan lebih mampu membiayai berbagai liputan investigasi mengenai berbagai topik yang relevan untuk Anda.

Kami yakin, dengan bekal informasi yang berkualitas mengenai isu-isu penting di sekitar kita,Anda bisa mengambil keputusan dengan lebih baik, untuk pribadi, lingkungan maupun bisnis Anda.

Para Researcher Indonesia Bebas Masalah yang tergabung dalam Judicial Research Society tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini dan telah mengungkapkan bahwa dirinya tidak memiliki afiliasi diluar afiliasi akademis maupun diluar tempat bekerja yang telah disebut di atas.


There is no ads to display, Please add some

Related posts

PROYEK KEMISKINAN ALA PT. BFI FINANCE

admin

Polemik Mencari Uang

admin

Trend SPBU Marak Dijual

admin

Leave a Comment