Image default
Berita Utama Kupas Tuntas Kupas tuntas

Potensi Penjualan Benur, Kepiting, Rajungan Menjadi Pidana

Setiap Lobster yang ada di Indonesia sekarang sebenarnya memiliki kemampuan untuk bertelur dengan jumlah lebih dari 1 juta telur. Dengan hitungan tersebut, jika benih Lobster (BL) dibiarkan di alam sebanyak 50 persen, maka asusminya akan ada 500 ribu ekor BL yang akan tetap hidup di alam

 

Oleh HBisa
Team Kajian Hukum Indonesia Bebas Masalah 

 

Kontroversi.or.id: Berawal dari masalah Agus Wahyudi dibantu Darmaji berniat menjual benih benur sebanyak 42 ribu ekor, kemudian dihadapkan pada kenyataan tuntutan 1,5 tahun ancaman pidana hingga harus menjadi pelajaran atau hikmah dituangkannya tulisan ini sebagai berikut:

Karena tak punya izin, keduanya akhirnya jadi pesakitan di Pengadilan Negeri Surabaya. Akibat perbuatannya, jaksa menuntut mereka dengan pidana penjara selama 1 tahun dan 6 bulan penjara.

Dalam amar tuntutannya, Jaksa Yulistiono menyatakan kedua terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana perikanan.

“Menyatakan para terdakwa terbukti bersalah melanggar sebagaimana diatur dalam pasal 92 jo pasal 26 ayat (1) UU Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja Jo UU Nomor 45 tahun 2009 tentang perubahan atas UU Nomor 31 tahun 2004 tentang perikanan jo UU 31 tahun 2004 tentang Perikanan Jo Pasal 56 ayat (1) ke-1 KUHP”, kata Jaksa Yulistiono saat membacakan tuntutannya di Pengadilan Negeri Surabaya, Kamis (8/9/2022).

Selain tuntutan pidana penjara selama 1 tahun dan 6 bulan penjara, Jaksa Yulistiono menuntut kedua terdakwa dengan pidana denda.

“Serta pidana denda sebesar Rp 50 juta subsider 3 bulan kurungan,” imbuh JPU.

Untuk diketahui, modus kedua terdakwa dengan membeli benih lobster kepada pengepul di daerah Tulungagung, Trenggalek dan sekitarnya. Dikemas dalam kantong plastik yang diberi oksigen dan di tempatkan di kardus besar dan styrofoam yang kemudian benih lobster dijual kepada pembeli di Jawa Barat.

Illegal Fishing tanpa izin membawa mengangkut kemudian mengedarkan benih lobster jenis mutiara sebanyak 6 ribu dan jenis pasir sebanyak 42 ribu. Jika di total negara dirugikan sebanyak 10 M.

 

Kontroversi kebijakan lobster telah berlangsung lebih dari setengah tahun. Baik saat masih wacana, maupun setelah kebijakan diambil oleh pemerintah.

Lima tahun Pemerintah Indonesia melindungi pemanfaatan benih Lobster untuk kegiatan ekspor. Selama waktu tersebut, Negara mendapatkan manfaat banyak seperti sumber daya terjaga dan potensi kerugian Negara yang berhasil diselamatkan karena upaya penyelundupan secara ilegal

 

Awal kebijakan lobster

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang dipimpin oleh Susi Pudjiastuti melarang budidaya lobster dan juga melarang ekspor benih lobster. Larangan ini tertuang dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 56/PERMEN-KP/2016 tentang Larangan Penangkapan dan/atau Pengeluaran Lobster (Panulirus spp.), Kepiting (Scylla spp.), dan Rajungan (Portunus spp.) dari Wilayah Negara Republik Indonesia. (Tahun 2016 silam).

Akan tetapi, pada pengujung 2019 saat kepemimpinan Kementerian Kelautan dan Perikanan berganti, regulasi segera berganti karena revisi dan sekaligus pencabutan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 56 Tahun 2016 langsung disiapkan

Melewati batas keberlanjutan

Kebijakan ini dilandasi oleh data KKP yang menunjukkan bahwa lobster telah mengalami over-exploited di 8 dari 11 Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP).

Over-exploited berarti tingkat penangkapan lobster dewasa telah melewati batas keberlanjutan atau melampaui Maximum Sustainable Yield (MSY).

Setelah revisi berhasil dilakukan dan Permen KP 12/2020 disahkan pada 4 Mei 2020, regulasi tentang pengelolaan Lobster jadi banyak berubah. Paling kentara, adalah pengelolaan untuk benih Lobster yang kini boleh untuk dilaksanakan ekspor

Tangkapan Yang Diperbolehkan

Data tersebut merupakan hasil kajian Komisi Nasional Pengkajian Sumber Daya Ikan (Komnas KAJISKAN) yang kemudian disahkan melalui Kepmen 47/2016 tentang Estimasi Potensi, Jumlah Tangkapan Yang Diperbolehkan, dan Tingkat Pemanfaatan Sumber Daya Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia.

 

Alasan perlindungan komoditas komersial 

KKP saat itu ingin membiarkan lobster besar di alam. Setelah besar baru boleh ditangkap dan dijadikan komoditas komersial. Dengan aturan tambahan, lobster yang ditangkap tidak dalam kondisi bertelur dan ukuran karapas di atas 8 cm atau berat di atas 200 gram per ekor.

Dengan kebijakan ini, produksi lobster hasil budidaya menurun drastis. Usaha budidaya lobster terhenti. Kalaupun ada, dilakukan dengan sembunyi-sembunyi.

 

Alasan penyelundupan sampai dengan pencucian uang 

Di sisi lain, larangan ekspor benih lobster memicu terjadinya penyelundupan dengan nilai yang cukup besar. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) melaporkan bahwa aliran dana penyelundupan benih lobster pada tahun 2019 mencapai Rp. 900 Miliar. Beberapa upaya penyelundupan benih lobster berhasil digagalkan oleh aparat, namun kemungkinan besar ada juga yang lolos.

 

Penerbitan regulasi baru dan pencabutan regulasi lama, menjadi gambaran bahwa Pemerintah Indonesia untuk lima tahun mendatang lebih berpihak kepada pengusaha, dalam hal ini adalah investor, eksportir, dan atau importir untuk Lobster

 

Permen kepentingan 

Seiring dengan pergantian menteri, Permen 56/2016 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku sejak awal Mei 2020. Selanjutnya berlaku Permen 12/2020 tentang Pengelolaan Lobster (Panulirus Spp.), Kepiting (Scylla Spp.), dan Rajungan (Portunus Spp.) di Wilayah Negara Republik Indonesia.

Permen yang ditandatangani oleh Menteri Edhy Prabowo ini kebalikan dari Permen sebelumnya, yaitu membolehkan budidaya lobster dan mengijinkan ekspor benih lobster.

Permen ini dilandasi oleh estimasi benih lobster Indonesia yang cukup melimpah, mencapai lebih dari 10 miliar benih per tahun. Selain itu, Permen ini merupakan respon terhadap dampak ekonomi bagi masyarakat nelayan yang diakibatkan oleh Permen sebelumnya (Permen 56/2016).

Budidaya lobster menurut Permen 12/2020 harus dilaksanakan di provinsi yang sama dengan perairan tempat penangkapan Benih Bening Lobster (BBL). Jika lokasi budidaya tidak terdapat BBL, budidaya lobster tetap dapat dilakukan setelah mendapat persetujuan dari KKP dan memiliki Surat Keterangan Asal BBL dari pemda setempat.

 

Ketentuan tentang ekspor BBL

Sementara ketentuan tentang ekspor BBL diantaranya adalah kuota dan lokasi penangkapan BBL sesuai hasil kajian dari Komnas KAJISKAN dan eksportir telah berhasil melaksanakan kegiatan pembudidayaan lobster di dalam negeri. Persyaratan ini harus ditunjukkan dengan panen secara berkelanjutan dan telah melepasliarkan lobster sebanyak 2% dari hasil pembudidayaan.

 

Kontroversi muncul ketika ekspor BBL sudah terjadi, tapi persyaratan ekspor belum terpenuhi

 

Budidaya Vs panen lobster

Persyaratan ekspor yang belum terpenuhi adalah besaran kuota berdasarkan hasil kajian Komnas KAJISKAN. Ini karena periode keanggotaan Komnas KAJISKAN selesai pada bulan September 2019 dan belum ada pengangkatan baru, sehingga tidak mungkin mengeluarkan rekomendasi tahun 2020 ini.

Persyaratan lain yang tidak mungkin terpenuhi dalam waktu dekat adalah eksportir harus sudah melakukan kegiatan budidaya dan panen lobster secara berkelanjutan.

Budidaya lobster membutuhkan waktu sekitar 8-12 bulan, sementara ekspor BBL sudah terjadi hanya berselang 1-2 bulan sejak Permen 12/2020 dikeluarkan.

 

Bertentangan dengan ketentuan lain 

Selain itu, ketentuan ekspor BBL ini sebenarnya bertentangan dengan ketentuan lain pada Permen 12/2020 (Pasal 2) yang menyebutkan bahwa pengeluaran lobster dari Indonesia hanya dapat dilakukan untuk lobster dengan ukuran panjang diatas 6 cm atau berat di atas 150 gram. BBL tentu belum mencapai minimum size tersebut.

 

Kombinasi antara rem dan gas

Jika dibuat spektrum, maka Permen 56/2016 berada pada ekstrim sebelah kiri, yaitu budidaya lobster NO dan ekspor benih lobster NO. Sementara Permen 12/2020 berada di ekstrim sebelah kanan, yaitu Budidaya lobster YES dan ekspor benih lobster YES. Dengan kata lain usaha salah satu menteri melakukan kebijakan rem pol, sedangkan menteri lain mengambil kebijakan gas pol.

Karena itu diusulkan jalan tengah, yaitu budidaya lobster YES dan ekspor benih lobster NO. Posisinya berada di tengah spektrum. Ini merupakan kombinasi antara rem dan gas.

Dengan kebijakan ini, maka penangkap benih lobster tetap bisa melakukan penangkapan untuk dijual ke pembudidaya lobster dalam negeri. Bukan untuk diekspor. Di sisi lain pembudidaya lobster bisa melanjutkan usahanya dengan kepastian suplai benih dari nelayan penangkap benih lobster. Dan para ahli lobster dapat menerapkan ilmu dan teknologi yang dikuasainya untuk memajukan budidaya lobster Indonesia agar bernilai tambah.

Kapasitas budidaya lobster dalam negeri memang masih minim sehingga cukup banyak benih lobster yang tetap dibiarkan di alam.

Dengan prinsip kehati-hatian (precautionary principle) dalam pengelolaan perikanan, tidak semua benih lobster di alam harus dieksploitasi. Benih-benih lobster tersebut pastinya berperan penting dalam sistem ekologi laut. Setidaknya dalam rantai makanan.

Benih lobster yang dibiarkan di alam diharapkan bisa mencapai ukuran konsumsi, meskipun Survival Rate (SR) lobster sering disebutkan sangat rendah. Angka SR yang rendah ini perlu dikaji lebih dalam mengingat produksi lobster dunia masih didominasi oleh lobster hasil tangkapan alam. Sementara produksi lobster hasil budidaya masih sangat kecil. Saat ini produksi lobster hasil budidaya yang cukup signifikan hanya berasal dari Vietnam.

Ketentuan Ekspor Benih Lobster

Karena Anda bertanya soal peraturan kini dan sebelumnya, maka kami akan jelaskan singkat histori peraturannya. Memang pada awalnya, melalui Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 56/PERMEN-KP/2016 Tahun 2016 tentang Larangan Penangkapan dan/atau Pengeluaran Lobster (Panulirus Spp.), Kepiting (Scylla Spp.), Dan Rajungan (Portunus Spp.) dari Wilayah Negara Republik Indonesia (“Permen KP 56/2016”), penangkapan dan/atau pengeluaran lobster (Panulirus spp.), dengan harmonized system code 0306.21.10.00 atau 0306.21.20.00, dari wilayah Indonesia hanya dapat dilakukan dengan ketentuan:
  1. tidak dalam kondisi bertelur; dan
  2. ukuran panjang karapas di atas 8 cm atau berat di atas 200 gram per ekor.
Setiap orang dilarang menjual benih lobster untuk budidaya.
Namun peraturan menteri tersebut telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku oleh Pasal 16 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 12/PERMEN-KP/2020 Tahun 2020 tentang Pengelolaan Lobster (Panulirus Spp.), Kepiting (Scylla Spp.), dan Rajungan (Portunus Spp.) di Wilayah Negara Republik Indonesia (“Permen KP  12/2020”).

Ekspor benih lobster ke Vietnam sebaiknya dihentikan karena bagaimanapun Vietnam adalah kompetitor Indonesia dalam perdagangan lobster.

  1. Kuota dan lokasi penangkapan benih bening lobster (puerulus) sesuai hasil kajian dari Komisi Nasional Pengkajian Sumber Daya Ikan yang ditetapkan oleh direktorat jenderal yang menyelenggarakan tugas dan fungsi di bidang perikanan tangkap;
  2. Eksportir harus melaksanakan kegiatan pembudidayaan lobster (panulirus spp.) di dalam negeri dengan melibatkan masyarakat atau pembudi daya setempat berdasarkan rekomendasi direktorat jenderal yang menyelenggarakan tugas dan fungsi di bidang perikanan budidaya;
  3. Eksportir telah berhasil melaksanakan kegiatan pembudidayaan lobster (panulirus spp.) di dalam negeri yang ditunjukkan dengan:
  1. sudah panen secara berkelanjutan; dan
  2. telah melepasliarkan lobster (panulirus spp.) sebanyak 2 (dua) persen dari hasil pembudidayaan dan dengan ukuran sesuai hasil panen;
  1. Pengeluaran benih bening lobster (puerulus) dilakukan melalui bandara yang telah ditetapkan oleh badan yang menyelenggarakan tugas dan fungsi di bidang karantina ikan, sebagai tempat pengeluaran khusus benih bening lobster (puerulus);
  2. Benih bening lobster (puerulus) diperoleh dari nelayan kecil penangkap benih bening lobster (puerulus) yang terdaftar dalam kelompok nelayan di lokasi penangkapan benih bening lobster (puerulus);
  3. Waktu pengeluaran benih bening lobster (puerulus) dilaksanakan dengan mengikuti ketersediaan stok di alam yang direkomendasikan oleh Komisi Nasional Pengkajian Sumber Daya Ikan dan ditetapkan oleh direktorat jenderal yang menyelenggarakan tugas dan fungsi di bidang perikanan tangkap;
  4. Penangkapan benih bening lobster (puerulus) harus dilakukan dengan menggunakan alat penangkapan ikan yang bersifat pasif;
  5. Memiliki surat keterangan asal yang diterbitkan oleh dinas kabupaten/kota yang membidangi perikanan pada pemerintah daerah setempat;
  6. Penangkap benih bening lobster (puerulus) ditetapkan oleh direktorat jenderal yang menyelenggarakan tugas dan fungsi di bidang perikanan tangkap; dan
  7. Eksportir benih bening lobster (puerulus) harus terdaftar di direktorat jenderal yang menyelenggarakan tugas dan fungsi di bidang perikanan tangkap.

 

Cerita selanjutnya 

Pengesahan regulasi baru tentang pengelolaan Lobster (Panulirus spp.) dinilai menjadi kedok yang sempurna bagi Pemerintah Indonesia untuk bisa mengeksploitasi jenis-jenis Lobster yang ada di perairan laut Indonesia secara besar-besaran. Kondisi itu akan memicu hancurnya usaha budi daya Lobster di seluruh Nusantara.

 

Direktur Eksekutif Pusat Studi Maritim untuk Kemanusiaan Abdul Halim menjelaskan, Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.12/2020 tentang Pengelolaan Lobster (Panulirus spp.), Kepiting (Scylla spp.), dan Rajungan (Portunus spp.) di Wilayah Negara Republik Indonesia hanya akan menguntungkan segelintir kelompok usaha saja.

“Seolah-olah ingin menggerakkan usaha pembudi dayaan Lobster, padahal cuma kedok,” ucap dia mengomentari regulasi yang baru diterbitkan pada Senin, 4 Mei 2020 itu.

Abdul Halim menjelaskan bahwa, penerbitan Permen tersebut akan berdampak signifikan kepada para pembudi daya Lobster yang ada di seluruh Negeri. Di antaranya, pelaku usaha budi daya Lobster akan kesulitan memperoleh benih Lobster yang berkualitas dengan harga yang terjangkau.

Kemudian, harga Lobster yang sudah melalui proses pembesaran di dalam negeri juga akan anjlok karena diakibatkan terus meningkatnya permintaan Lobster dari Vietnam. Kondisi tersebut akan mengancam usaha Lobster milik pelaku usaha skala kecil gulung tikar.

“Itu akibat menduanya kebijakan Menteri Kelautan dan Perikanan (Edhy Prabowo) yang menitikberatkan pada peningkatan PNBP (pendapatan Negara bukan pajak) perikanan ketimbang menyejahterakan pembudi daya dalam negeri secara masif,” jelas dia.

Dengan kata lain, Permen 12/2020 menandai babak baru eksploitasi sumber daya perikanan, khususnya benih Lobster untuk tujuan jangka pendek, yakni untuk menggenjot PNBP di sektor perikanan. Tak hanya itu, penerbitan Permen tersebut juga bertolak belakang dengan hasil kajian Komisi Nasional Pengkajian Sumber Daya Ikan (Komnas Kajiskan) yang menunjukkan bahwa status sumber daya Lobster dalam level fully dan over exploited.

Menurut Halim, status tersebut berlaku untuk 11 wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia (WPP NRI) dan karenanya tidak boleh ada kegiatan eksploitasi benih Lobster tanpa merujuk pada sejumlah aturan pendukung yang sudah ada.

Adapun, aturan yang dimaksud, adalah hasil studi Komnas Kajiskan sebagai basis data acuan stok Lobster, peraturan Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap KKP terkait nelayan kecil yang dibolehkan menangkap benih Lobster, dan peraturan Ditjen Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) terkait pengawasan pemanfaatan benih Lobster.

 

Keberpihakan Negara

Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Susan Herawati juga bereaksi dengan keras setelah Permen KP 12/2020 resmi disahkan pada Senin lalu. Di mata dia, kehadiran Permen tersebut menegaskan keberpihakan Pemerintah Indonesia kepada investor kelautan dan perikanan.

Salah satu bukti keberpihakan Negara kepada investor ataupun eksportir adalah penghapusan ketentuan yang ada dalam Permen sebelumnya, yakni Permen KP No.56/2016 tentang Larangan Penangkapan dan/atau Pengeluaran Lobster (Panulirus spp.), Kepiting (Scylla spp.), dan Rajungan (Portunus spp.) di Wilayah Negara Republik Indonesia.

Kata dia, ada ketentuan yang dihapus dalam Permen KP 56/2016 yang berbunyi “Setiap orang dilarang menjual benih Lobster untuk budi daya,” dan kemudian diubah dalam Permen KP 12/2020 menjadi, “Eksportir harus melaksanakan kegiatan pembudi dayaan Lobster di dalam negeri.” Kemudian, ada juga tambahan tentang benih Lobster dengan istilah “Benih bening Lobster.

Selain tentang benih, perubahan lain yang dilakukan KKP dalam Permen KP 12/2020 adalah tentang penangkapan Lobster yang bertelur. Dalam Permen KP 56/2016, penangkapan dan/atau ekspor Lobster, Kepiting, dan Rajungan boleh dilakukan dalam “kondisi tidak bertelur”.

Sementara, aturan berbeda dimunculkan pada Permen KP 12/2020 tentang kegiatan tersebut dengan mengubahnya menjadi “dalam kondisi tidak bertelur yang terlihat pada abdomen luar.” Dengan kata lain, kegiatan penangkapan dan/atau ekspor Lobster, Kepiting, dan Rajungan bisa dilakukan selama tidak terlihat pada abdomen luar.

Susan menyebut, perubahan pada Permen 12/2020 tersebut semakin menegaskan bahwa investor, eksportir, dan juga importir sudah memenangkan pertarungan untuk ketiga biota laut yang selama lima tahun ini diatur dengan sangat ketat. Padahal, kemenangan itu mempertaruhkan keberlangsungan hidup nelayan, sumber daya perikanan, dan perekonomian nasional.

“Di dalam Permen KP No.12 Tahun 2020 sangat pro-investor dan eksportir dan mengkhianati nelayan kecil dan tradisional,” tutur dia.

Di sisi lain, jika merujuk pada Permen yang baru, nelayan kecil harus terdaftar dalam kelompok nelayan di lokasi penangkapan benih Lobster. Sementara, penetapan status nelayan kecil penangkap benih bening Lobster hanya bisa ditetapkan oleh Ditjen Perikanan Tangkap KKP.

Dan sayangnya, Susan dan KIARA meragukan penetapan tersebut karena tidak tahu apakah KKP memiliki data jumlah dan penyebaran seluruh kelompok nelayan kecil di Indonesia dengan benar ataukah tidak. Sementara, di saat yang sama ancaman bagi nelayan sudah jelas muncul, karena izin ekspor benih Lobster sudah dilegalkan melalui Permen KP 12/2020.

“Itu hanya akan memberi keuntungan secara ekonomi kepada investor, eksportir, dan juga importir. Sementara, nelayan tetap menjadi pihak yang paling sedikit menerima keuntungan, walau statusnya sebagai produsen utama,” tegas dia.

 

Nelayan Tersingkir

Susan menyebutkan, KIARA memiliki catatan bahwa saat ini harga benih Lobster di Vietnam sudah mencapai Rp139 ribu per ekor. Sementara, benih Lobster hasil tangkapan nelayan di Indonesia di saat yang sama dihargai di kisaran Rp3-5 ribu per ekor.

“Ini adalah potret ketidakadilan yang akan terus mengancam kehidupan nelayan lobster,” kata dia.

Gambaran muram setelah disahkan Permen KP 12/2020 itu, akan semakin bertambah karena dorongan untuk melakukan eksploitasi benih Lobster pasti semakin tinggi di pusat-pusat penangkapan dan budi daya Lobster yang ada di seluruh Indonesia.

Dalam jangka panjang, eksploitasi seperti itu akan bisa menghancurkan pusat-pusat perikanan rakyat yang selama ini sudah berjalan dengan lestari dan berkelanjutan. Ancaman itu bisa menjadi kenyataan, jika Pemerintah Indonesia tidak mau menunjukkan komitmen untuk menjaganya.

Komitmen yang dimaksud, tidak lain adalah menegakkan keberlanjutan sumber daya perikanan dengan menjaga Lobster untuk tetap dibesarkan dan dibudi dayakan di dalam negeri hingga tiba masanya untuk dikonsumsi atau dijual ke berbagai negara tujuan ekspor.

Acaman lain dari Permen baru juga akan dirasakan oleh perekonomian nasional. Menurut Susan, dari data yang dikumpulkan KIARA pada 2019, sepanjang 2015 sampai 2018, KKP berhasil menyelamatkan sumber daya Lobster yang akan dikirim secara ilegal ke luar negeri hingga mencapai 6.669.134 ekor.

“Penggagalan tersebut berhasil menyelamatkan potensi uang Negara hingga mencapai Rp464,87 miliar,” jelas dia.

Jumlah di atas menunjukkan bahwa pelarangan ekspor benih Lobster yang sudah berjalan selama lima tahun berhasil menyelamatkan uang Negara dalam jumlah yang besar. Dengan kata lain, pelarangan ekspor benih Lobster terbukti sudah menyelamatkan perekonomian nasional.

Bagi Susan, nilai uang yang diselamatkan tersebut akan terus bertambah jika ekspor benih Lobster tidak disahkan melalui Permen KP 12/2020. Dalam arti lain, izin ekspor benih Lobster terlihat menguntungkan dalam jangka waktu pendek, namun tidak untuk jangka panjang.

“Dalam jangka waktu panjang, izin ini benar-benar akan merugikan Indonesia, masyarakat nelayan, dan keberlangsungan sumber daya perikanan kita,” pungkas dia.

Sedangkan mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti menanggapi Permen KP 12/2020 itu hanya dengan 10 emoticon sedih melalui cuitan twitter pada 8 Mei 2020. Cuitannya itu mendapatkan respon 46,6 ribu like, 17 ribu retweet dan 4 ribu lebih komentar.

 

Dorong Budi daya Lobster

Kepala Biro Humas, Kerja Sama, dan Hubungan Luar Negeri Kementerian Kelautan dan Perikanan Agung Tri Prasetyo mengatakan keluarnya Permen KP 12/2020 itu untuk mengelola sumber daya perikanan agar lebih baik dan bijak demi peningkatan kesejahteraan masyarakat.

“Sumber daya perikanan tersebut dapat dikelola secara baik dan bijak sehingga mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat, mewujudkan kesetaraan teknologi budidaya, menarik investasi, menghasilkan devisa, tanpa membahayakan keberlanjutan ketersediaannya,” kata Agung melalui pesan teks kepada awak media Indonesia tahun silam. (Senin,11/5//2020)

Sebelumnya, Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo mengatakan dia berharap seluruh wilayah di Indonesia diharapkan bisa melaksanakan budi daya Lobster (Panulirus spp.) setelah revisi Permen No.56/2016 selesai dilakukan.

Pelaksanaan budi daya untuk komoditas bernilai ekonomi tinggi itu, dilaksanakan terutama pada wilayah yang memiliki sumber daya alam sangat baik. Tetapi, pelaksanaan tersebut harus dilakukan melalui pengaturan yang sangat ketat.

“Sehingga tidak ada lagi masalah kekhawatiran terhadap kepunahan (Lobster)”, ungkap Edhy Prabowo di Jakarta beberapa waktu silam. (Kamis,19/3/2020).

Dari sisi jumlah telur, Edhy menyebutkan bahwa setiap Lobster yang ada di Indonesia sekarang sebenarnya memiliki kemampuan untuk bertelur dengan jumlah lebih dari 1 juta telur. Dengan hitungan tersebut, jika benih Lobster (BL) dibiarkan di alam sebanyak 50 persen, maka asusminya akan ada 500 ribu ekor BL yang akan tetap hidup di alam.

Dengan cara tersebut, maka kekhawatiran masyarakat bahwa budi daya Lobster akan memicu terjadinya eksploitasi sumber daya alam di laut, itu sebenarnya tidak akan terjadi. Mengingat, Lobster itu adalah komoditas yang sangat mudah untuk berkembang biak, terutama di alam lepas.

“Target utama, sesuai arahan Presiden RI Joko Widodo, Lobster ini difokuskan dibudidayakan (dengan) sangat hati-hati dan tidak boleh menimbulkan keributan”, jelasnya.

Aturan Pengelolaan Budidaya Lobster Berkelanjutan

Upaya menjamin pengelolaan budidaya lobster secara berkelanjutan, KKP melalui Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya telah menetapkan aturan tata kelolanya melalui Keputusan Dirjen Perikanan Budidaya Nomor : 178/KEP-DIRJEN/2020, yang mengacu pada Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 12 tahun 2020 tentang Pengelolaan Lobster, Kepiting dan Rajungan di Wilayah NKRI.

Kegiatan sosialisasi Keputusan Dirjen Perikanan Budidaya tersebut digelar secara daring dan diikuti seluruh pemangku kepentingan baik di pusat maupun di Propinsi seluruh Indonesia.

Dalam arahannya, Slamet meminta seluruh elemen untuk mengikuti pedoman yang telah diatur. Ia memastikan bahwa aturan tersebut merupakan bagian dari upaya Pemerintah dalam mewujudkan pemanfaatan potensi sumber daya lobster melalui budidaya yang terukur dan berkelanjutan.

“Kita ini punya dua tanggungjawab utama yaitu bagaimana memanfaatkan lobster bagi peningkatan ekonomi nasional dan masyarakat, tapi disisi lain kita juga bertanggungjawab dalam menjamin sumber daya lobster tetap lestari. Dan aturan ini saya kira bagian dari upaya untuk mewujudkan dua hal ini. Ekonominya kita manfaatkan melalui budidaya, sumber dayanya kita tetap jaga dan lestarikan, yakni dengan mendorong upaya restocking,” ujar Direktur Jenderal Perikanan Budidaya, Slamet Soebjakto di Jakarta, Selasa (16/6/2020).

Slamet menyampaikan aturan tersebut setidaknya mengatur 4 (empat) substansi utama yakni :

  1. Ketentuan pendaftaran dan penetapan sebagai pembudidaya lobster;
  2. Ketentuan mengenai persetujuan pembudidayaan lobster di luar wilayah sumber benih;
  3. Ketentuan mengenai kewajiban pelepasliaran lobster hasil pembudidayaan dan
  4. Ketentuan mengenai pembudidayaan oleh eksportir benih lobster.

 

Empat ketentuan tersebut menurutnya sebagai bagian penting tata kelola pembudidayaan lobster yang lebih terukur dan bertanggungjawab.

 

Peran Pemda tentu sesuai kewenangannya

“Semua mekanisme yang diatur dalam ketentuan ini sifatnya sentralistik jadi memang kewenangannya lebih banyak ada di KKP. Tujuannya agar lebih mudah melakukan pengawasan dan pengendalian mengingat lobster merupakan spesies yang spesifik dimana kita belum mampu untuk memijahkannya, sehingga pengaturannya harus lebih ketat. Peran Pemda tentu sesuai kewenangannya, sifatnya lebih koordinatif juga pembinaan, tapi ketentuan perizinan pusat yang mengeluarkan,” imbuhnya.

 

Mematuhi dan memenuhi mekanisme yang telah ditetapkan

Slamet juga mengimbau semua pihak untuk mematuhi dan memenuhi mekanisme yang telah ditetapkan jika ingin melakukan usaha budidaya ikan. Fokus utamanya bagaimana agar masyarakat lokal bisa terlibat dalam kegiatan usaha. Oleh karenanya ia meminta pemda yang membidangi perikanan budidaya lebih proaktif dalam melakukan sosialisasi di level masyarakat.

“Masyarakat lokal harus betul betul dapat porsi besar dalam kegiatan bisnis budidaya lobster ini, baik sebagai mitra, pekerja atupun menanamkan investasi sehingga ekonomi bisa berkembang di wilayah tersebut. Saya rasa ketentuan ini juga tidak terlalu memberatkan mereka pelaku usaha. Mengenai prosedur pemenuhan persyaratan, saya minta pemda betul betul proaktif lakukan sosialisasi termasuk melakukan pendataan terhadap masyarakat yang memiliki animo tinggi berbudidaya lobster,” pungkas Slamet.

 

Kriteria dan persyaratan yang harus dipenuhi – SMS gateway 

Berkaitan dengan kriteria dan persyaratan yang harus dipenuhi agar terdaftar sebagai pembudidaya yakni wajib memperoleh surat penetapan sebagai pembudidaya lobster dari Direktur Jenderal.

Adapun untuk memperoleh surat penetapan sebagai pembudidaya lobster, pelaku usaha harus mengajukan permohonan kepada Direktur Jenderal melalui Call centre Whatsapp Gateway (WA Gateway) 0822 99999 6660 dengan memenuhi persyaratan dan melampirkan dokumen antara lain :

  1. Data pelaku usaha dan informasi jenis usaha;
  2. SIUP atau TDPIK;
  3. Surat pernyataan komitmen untuk menggunakan benih dari nelayan terdaftar bagi pembudidayaan lobster; dan
  4. Surat pernyataan komitmen untuk melepasliarkan lobster sebanyak 2% dari hasil panen pembesaran Lobster dengan berat minimal lobster yang dilepasliarkan adalah 50 g/ekor bagi pembudidayaan lobster.

Khusus pembudidayaan Losbter di luar wilayah sumber benih, kriteria dan peryaratan yang harus dipenuhi yakni (1) Surat penetapan sebagai Pembudidaya Lobster; dan (2) Surat Dukungan Budidaya Lobster di Luar Wilayah Sumber Benih dari Dinas setempat di lokasi budidaya akan dilakukan.

Khusus pelaku usaha yang akan melakukan ekspor benih, Permen KP Nomor 12 Tahun 2020 mewajibkan untuk melakukan pembudidayaan lobster dan telah panen secara berkelanjutan serta melakukan pelepasliaran lobster sebanyak 2%.

Calon eksportir benih harus memperoleh Surat keterangan telah melakukan usaha pembudidayaan lobster yaitu dengan mengajukan permohonan kepada Direkur Jenderal dengan melampirkan dokumen yakni :

  1. Surat penetapan sebagai pembudidaya lobster;
  2. Surat penetapan sebagai Eksportir lobster dari Direktur Jenderal yang membidangi perikanan tangkap;
  3. Kontrak kerja atau perjanjian kerjasama dengan masyarakat atau pembudidaya setempat;
  4. Berita acara pelepasliaran lobster yang disaksikan dan ditanda tangani oleh Dinas setempat;
  5. Surat keterangan asal benih dari Dinas setempat; dan
  6. Laporan pembudidayaan losbter memuat informasi produksi.

There is no ads to display, Please add some

Related posts

LEMAH PENGAWASAN PROYEK PENGERUKAN WADUK BOLO TANPA PAPAN NAMA

Penulis Kontroversi

Pemborosan: Pimpinan Satuan Kerja Baru OJK

admin

Target 157.500 unit program FLPP tahun 2021 di Tengah Pandemi Corona

Penulis Kontroversi

Leave a Comment