Image default
Opini

Ruwatan

Pengertian
Dalam masyarakat Jawa,ritual ruwat dibedakan dalam tiga golongan besar yaitu :
1.       Ritual ruwat untuk diri sendiri.
2.       Ritual ruwat untuk lingkungan.
3.       Ritual ruwat untuk wilayah.

Pada umumnya, pangruwatan Murwa Kala dilakukan dengan pagelaran pewayangan yang membawa cerita Murwa Kala dan dilakukan oleh dalang khusus memiliki kemampuan dalam bidang ruwatan. Pada ritual pangruwatan, bocah sukerta dipotong rambutnya dan menurut kepercayaan masyarakat Jawa, kesialan dan kemalangan sudah menjadi tanggungan dari dalang karena anak sukerta sudah menjadi anak dalang. Karena pagelaran wayang merupakan acara yang dianggap sakral dan memerlukan biaya yang cukup banyak, maka pelaksanaan ruwatan pada zaman sekarang ini dengan pagelaran wayang dilakukan dalam lingkup pedesaan atau pedusunan.

Proses ruwatan seperti yang diterangkan ini bisa ditujukan untuk seseorang yang akan diruwat, namun pelaksanaannya pada siang hari. Sedangkang untuk meruwat lingkup lingkungan, biasanya dilakukan pada malam hari. Perbedaan pemilihan waktu pelaksanaan pagelaran ditentukan melalui perhitungan hari dan pasaran.

Tradisi “upacara /ritual ruwatan” hingga kini masih dipergunakan orang jawa, sebagai sarana pembebasan dan penyucian manusia atas dosanya/kesalahannya yang berdampak kesialan di dalam hidupnya. Dalam cerita “wayang“ dengan lakon Murwakala pada tradisi ruwatan di jawa ( jawa tengah) awalnya diperkirakan berkembang di dalam cerita jawa kuno, yang isi pokoknya memuat masalah pensucian, yaitu pembebasan dewa yang telah ternoda, agar menjadi suci kembali, atau meruwat berarti: mengatasi atau menghindari sesuatu kesusahan bathin dengan cara mengadakan pertunjukan/ritual dengan media wayang kulit yang mengambil tema/cerita Murwakala.

Dalam tradisi jawa orang yang keberadaannya dianggap mengalami nandang sukerto/berada dalam dosa, maka untuk mensucikan kembali, perlu mengadakan ritual tersebut. Menurut ceriteranya, orang yang manandang sukerto ini, diyakini akan menjadi mangsanya Batara Kala. Tokoh ini adalah anak Batara Guru (dalam cerita wayang) yang lahir karena nafsu yang tidak bisa dikendalikannya atas diri DewiUma, yang kemudian sepermanya jatuh ketengah laut, akhirnya menjelma menjadi raksasa, yang dalam tradisi pewayangan disebut “Kama salah kendang gumulung “. Ketika raksasa ini menghadap ayahnya (Batara guru) untuk meminta makan, oleh Batara guru diberitahukan agar memakan manusia yang berdosa atau sukerta. Atas dasar inilah yang kemudian dicarikan solosi, agar tak termakan Sang Batara Kala ini diperlukan ritual ruwatan. Kata Murwakala/purwakala berasal dari kata purwa (asalmuasal manusia) ,dan pada lakon ini, yang menjadi titik pandangnya adalah kesadaran : atas ketidak sempurnanya diri manusia, yang selalu terlibat dalam kesalahan serta bisa berdampak timbulnya bencana (salah kedaden).

Untuk pagelaran wayang kulit dengan lakon Murwakala biasanya diperlukan perlengkapan sebagai berikut :
1. Alat musik jawa ( Gamelan )
2. Wayang kulit satu kotak ( komplet )
3. Kelir atau layar kain
4. Blencong atau lampu dari minyak

Latar Belakang
Diruwat (jawa) atau diruat (sunda) berasal dari adat istiadat Jawa, istilah ruwat berasal dari istilah Ngaruati artinya menjaga dari kecelakaan Dewa Batara. Biasanya ruwat dilaksanakan ketika: anak yang sedang sakit, anak tunggal yang tidak memiliki adik maupun kakak, terkena sial, jauh jodoh, susah mencari kehidupan, mempunyai tanda Wisnu (tanda putih pada badannya dan lainnya)

Pengertian adat Jawa Ruwatan dan asal-usulnya Versi Iwan
Pengertian Ruwatan
Indonesia memang kaya akan budaya. Hal ini disebabkan Indonesia terdiri dari berbagai macam suku bangsa. Salah satu diantaranya adalah Jawa. Dalam tradisi Jawa, ada ritual yang bernama Ruwatan. Acara yang satu ini masih dilakukan hingga saat ini. Pengertian Ruwatan adalah suatu upacara atau ritual yang bertujuan untuk mengusir nasib buruk atau kesialan yang ada pada seseorang. Upacara adat Jawa ini masih sering terlihat, terutama di Jogja dan Jawa Tengah serta sebagian besar Jawa Timur. Dipercaya bahwa setelah adanya ritual ini, maka kehidupan seorang yang diruwat akan menjadi lebih baik, lebih sejahtera dan lebih beruntung.

Asal usul adat Jawa Ruwatan
Asal-usul Ruwatan tidak lepas dari mitos masyarakat Jawa mengenai hal-hal yang bersifat spiritual. Ruwatan adalah salah satunya, yakni dihubungkan dengan keberadaan Dewa dan Dewi. Bathara Kala namanya, merupakan adik dari Bathara Guru yang memiliki pekerjaan mengganggu manusia. Orang yang dimangsa oleh Bhatara Kala akan mengalami Sukerta atau nasib sial sepanjang hidupnya di dunia. Menurut mitos, Bathara Kala menyukai anak-anak yang berjumlah tertentu dalam sebuah keluarga. Berikut anak-anak yang menjadi kegemaran Bathara Kala dalam mitologi Jawa:

Kedhono Kedhini, dua anak pertama laki-laki, lalu dua anak selanjutnya perempuan.Pandawa, lima anak semuanya lelaki. Sedangkan Pandawa Pancala Putri adalah lima orang anak semuanya perempuan.Ontang-anting adalah anak tunggal berjenis kelamin lelaki, sedangkan unting-unting adalah anak tunggal berjenis kelamin perempuan.Gendhana-gendhini, satu anak lelaki memiliki satu adik perempuan.Uger-Uger Lawang adalah dua anak lelaki, sedangkan Kembar Sepasang adalah dua anak perempuanKembar, yakni dua anak laki-laki atau dua anak perempuan yang lahir bersamaan.Gotong Mayit adalah tiga anak perempuan semua, sedangkan Cukil Dulit adalah tiga anak lelaki semua.Serimpi adalah empat anak perempuan semua, sedangkan Serambah adalah empat anak lelaki semua.Sendang Kaapit Pancuran adalah tiga anak dengan dua lelaki dan satu orang perempuan di tengah.Pancuran Kaapit Sendang adalah tiga anak dengan dua perempuan dan satu lelaki di tengah.Sumala, yakni anak yang cacat sejak lahir.Wungle atau anak yang lahir dalam keadaan bule atau tanpa pigmen kulit.Margana adalah anak yang lahir saat ibunya dalam perjalanan, sedangkan Wahana adalah anak yang lahir saat ibunya dalam keadaan berpesta.Wuyungan adalah anak yang lahir dalam keadaan situasi yang gawat, misalnya peperangan atau bencana alam.Julung Sungsang adalah anak yang lahir pada waktu tengah hari, sedangkan Julung Sarab adalah anak yang lahir pada waktu matahari terbenam.Julung Caplok adalah anak yang lahir pada waktu senja hari, sedangkan Julur Kembang adalah anak yang dilahirkan pada saat fajar menyingsing.

Upacara adat Ruwatan yang biasa dilakukan adalah upacara adat Ruwatan Murwakala. Upacara ini menggunakan pagelaran wayang dengan lakon Murwakala. Cerita yang digunakan sangat sederhana dan orang-orang yang akan diruwat harus hadir dalam upacara tersebut. Dalam cerita, mereka nanti akan diruwat oleh seorang yang bernama Kandhabuwana. Dalam artikel selanjutnya, kita akan membahas mengenai tata cara pelaksanaan adat jawa ruwatan.

MENGAPA HARUS RUWATAN DAN DIRUWAT Versi wandalibrata
Warisan Budaya Jawa yang disebut Ruwatan ( Upacara Ruwatan ) telah tumbuh dan berkembang selama berabad – abad, yang tentu saja banyak mengalami proses perubahan sampai pada bentuk sekarang ini. Umumnya Upacara Ruwatan diselenggarakan dengan pergelaran Wayang yang sarat dengan pesan pendidikan budi pekerti dan spritual ditampilkan secara Simbolik dan Metafolik yang serba estetis. Pesan pendidikan itu merupakan hasil penghayatan para leluhur dalam hidup bermasyarakat serta perhubungannya dengan alam yang menjadi lingkungannya.
Penyampaian pesan – pesan secara Simbolik itu mepunyai tujuan agar nilai – nilai yang diungkapkan dapat terpelihara kelestariannya. Apabila pesan itu disampaikan secara lugas, niscaya penerimaannya tidak berbeda dengan informasi biasa dalam kehidupan sehari – hari, artinya sesudah pesan itu diterima oleh pendengarnya, maka selesailah fungsi pesan itu dan tidak mengesan di dalam hati.
Upacara Ruwatan dilaksanakan dalam suasana hening dan sakral. Yang disakralkan itu bukan benda – benda perlengkapan upacara ataupun tindakan simbolik para pelakunya, melainkan nilai – nilai yang terkandung didalamnya, itulah yang disakralkan.
Secara Rasional dapat diuraikan bahwa Ruwatan bertujuan untuk membersihkan jiwa anak sukerta dengan dibekali ajaran berbagai ajaran etika dan moral yang terungkap dalam upacara, dalam pergelaran wayang dalam makna Simbolik setiap perlengkapan termasuk sesaji.

Ruwatan dan Cerita Ruwatan
Kata Ruwatan berasal dari kata Ruwat artinya bebas, lepas. Kata Mangruwat atau Ngruwat artinya membebaskan, melepaskan. Tradisi Hindu melakukan pengruwatan dipilih makhluk yang hidup mulia dan bahagia, akan tetapi belakangan terjadi perubahan nilai yang kemudian berubah menjadi hina dan sengsara, sehingga bagi mereka yang hidup sengsara atau hina itu harus diruwat artinya dibebaskan atau dilepaskan dari hidup sengsara.  Bau Sastra Jawa Ruwat artimya ”Luar Sokoning Panenung, Pangesat, mewujudkan sing salah kedaden, Luwar saka ing bebandan pahukuman ing Dewa”.
Cerita Jawa Kuno banyak menampilkan cerita Ruwatan, kebanyakan yang diruwat adalah dewa yang kena kutuk dan karenanya menjadi hina hidupnya, hidup sebagai binatang, raksasa dan wujud lain yang jelek dan jahat. Contoh beberapa cerita antara lain :

a. Dalam Kakawin Partayajna (XXXII) disebutkan, raksasa nalamala anak Durga melalui tekak (Telak) sebelum Durga melahirkan Ganesya. Ketika perang melawan Arjuna, Nalamala menampakan diri dalam ujud Kala. Arjuna bersamadi bersatu dengan Hyang Syiwa, maka dahinya memancarkan sinar. Raksasa Kala takut dan melarikan diri, serta berkata akan muncul pada jaman kali dalam wujud tiga bersaudara kalakeva untuk membunuh dua saudara pandawa.

b. Dalam Cerita Sudamala ( III-IV ) muncul anak Durga bernama Kalantaka dan kalanjana, keduanya berasal dari Dewa Citragada dan Citrasena yang kena Kutuk Batara Guru, Kalantaka dan Kalanjana memihak Kurawa dan akan memusnahkan Pandawa. Tetapi mereka berdua bahkan diruwat oleh Sadewa, kembali menjadi Dewa asalnya. Disebutkan pula dalam cerita Sudamala Tokoh kalika, tetapi dia adalah abdi Batari Durga.

c. Dalam Cerita Smaradahana karangan Mpu Darmaja ( XXIV-XXVIII ) diceritakan Syiwa beranak Gana dalam bentuk Dewa berkepala Gajah, Dalam Cerita tersbut juga disebut – sebut Nama Nandiswara dan Mahakala, tetapi mereka berkedudukan menjadi penjaga Syiwa dalam bertapa. Mahakala bukan anak Syiwa.

d. Dalam cerita Krsnakalatanka ( IX-LXXVI ). Dalam kitab Kalangwan karangan PJ Zoetmulder ( Penerbit Dajambatan, 1983 ). Disebut-sebut tokoh kalantaka. Kalantaka adalah Raja Raksasa yang di anugerahi kesaktian oleh Durga. Ia membantu Duryadana dalam usaha menumpas warga Pandawa. Diceritakan. ketika di nasihati oleh bisma supaya damai dengan Pandawa, Duryadana menolak dan akan mencari bantuan kepada Durga. Maka Duryadana pergi ke hutan mencari Durga, ditemani Daswanta. Durga menawarkan Kalantaka untuk membantunya.

e. Dalam Pakem kandaning Ringgit Purwo ( Naskah Lediden UB LOV 639II, halaman 39-44, terbitan Djambatan, Jakarta ) diceritakan bahwa Hyang Guru beristri Dewi Gariti dan Dewi Uma. Dewi Gareti beranak 2 bernama Batara Brahma dan Batara Cakra. Batara Brahma tubuhnya berbulu dan tulangnya berwarna merah, sedang batara Cakra timpang kakinya. Dewi Uma beranak 2 pula, yang pertama bernama Batara Wisnu, serba hitam warnanya. Yang kedua bernama Batara Basuki serba putih warnanya. Kemudian Dewi Uma beranak lagi 3 yaitu Yamadipati, Gana dan Siwah. Mereka hadir di Setra Gandamayu. Yamadipati berujud Raksasa dahsyat. Gana berwujud Dewa kepala gajah dan berbelalai. Siwah berujud dewa berwarna hitam dan putih separoh tubuhnya. Batara suka mengganggu para Bidadari, maka Hyang Guru menyuruh Hyang Nbarda supaya mengusir Batara Gana pergi ke Marcapada, bertempat di hutan Purwakanda dan menguasai Prajurit Raksasa.

Dalam cerita-cerita kuno itu yang dibebaskan ialah mereka yang berhidup sengsara, bernoda, hina dan sebagainya. Kebanyakan mereka yang dibebaskan berjumlah satu, dua dan lima. Mereka ditakdirkan menjadi makhluk hidup sengsara, tidak berbahagia seperti dewa. Maka mereka diruwat atau dilepaskan dari hidup sengsara itu. Yang meruwat adalah Dewa atau Manusia keturunan Dewa. Mereka yang pernah meruwat yaitu Sang Hyang Guru, Kresna, Arjuna dan Sadewa.
Dalam Cerita Jawa Baru yang diruwat ialah mereka yang menjadi jatuh atau catu-makan Batara Kala. Batara Kala ialah Anak yang lahir dari Kama-salah, berasal dari Sang Hyang Guru. Mereka yang menjadi catu makan Batarkala dianggap hidup sengsara, maka harus dibebaskan dari kesengsaraan itu.

Yang perlu di ruwat
Berdasarkan atas kepercayaan dan tradisi jawa sejak jaman dahulu anak atau orang sukerta perlu diruwat dibebaskan dari malapetaka ancaman dimakan Batarakala. Ketentuan anak atau orang sukerta terdapat di dalam berbagai kitab jawa antara lain :
Di dalam Serat Centhini yang penulisannya diprakarsai oleh putra mahkota surakarta   ( kemudian bertahta menjadi Sri Pakubuwana V ) yang disusun oleh beberapa orang Pujangga pada tahun 1814 M Jilid 2 edisi huruf latin terbitan Yayasan Centhini Yogyakarta halaman 296-298 di sebutkan bahwa anak sukerta ialah :

a. Ontang-anting         : anak tunggal, lelaki.
b. Anting-anting           : anak tunggal, perempuan.
c. Uger-uger lawang    : dua orang anak, lelaki semua.
d. Kembang sepasang : dua orang anak, perempuan semua.
e. Gedhana-gedhini     : dua orang anak, lelaki dan perempuan, yang tua si lelaki.
f. Gedhini-gedhana      : dua   orang   anak,   perempuan  dan  lelaki,  yang  tua  si    perempuan.
g. Pandhawa                : Lima orang anak, lelaki semua, tidak diseling wanita.
h. Pendhawa Ngayomi  : Lima orang anak perempuan semua.
i. Pendhawa Madangake  :    Lima orang anak, empat orang lelaki dan seorang perempuan.
j. Pandhawa apil-apil     : lima orang anak, empat orang perempuan dan seorang lelaki.
k. Bathang angucap      : orang berjalan seorang diri di waktu tengah hari, tanpa bersumping daun ( diatas telinganya ), tidak berdendang ( ngidung ) dan tidak makan sirih ( mucang ).
l. Jisim Lumaku               : dua orang berjalan di waktu tengah hari, tanpa bersumping, tidak berdendang dan tidak makan sirih.
m. Ontang-anting lumunting tunggaking aren    :  orang yang tak ada  saudaranya  ( anak  tunggal )  sejak lahirnya, di tengah-tengah dua alisnya terdapat titik putih, sedang mukanya pucat pasi.

Batara Guru lalu memberikan senjata badama (golok, parang) kepada Batara Kala agar digunakan membunuh orang yang menjadi jatahnya, baru kemudian boleh dimakannya. Kepada Batara Penyarikan diberikan tugas mengikuti Batara Kala untuk mencatat cara Batara Kala memakan orang yang menjadi jatahnya.
Batari Uma memberi jatah harapan( Pengayam-ayam, jw ) yakni anak atau orang yang disebut :
1. Tiba-sampir    :    bayi lahir pada waktu di desanya sedang ada pertunjukan wayang kulit tidak diserahkan kepada Ki Dalang. Bilamana si bayi diserahkan kepada Ki Dalang, ia menjadi saudara Batara Kala.
2. Mancah    :    orang yang menghalangi Batara Kala mencari makan orang yang menjadi jatahnya.

Jumlah / jenis anak sukerta yang diruwat
Kutipan Serat Centhini Latin Jilid 2 tersebut menunjukan, bahwa jumlah/jenis anak atau orang sukerta yang terhitung jatah makanan Batara Kala dan perlu diruwat, terbilang :

a. Yang mutlak terhitung jatah makanan Batara Kala dan perlu diruwat ada 13 jenis.
b. Yang boleh diharapkan oleh Batara Kala sebagai jatah harapan ( Pengayam-ayam,Jw ) ada 2 jenis.

Yang tercantum di dalam Serat Centhini tersebut bukanlah satu-satunya petunjuk, melainkan sebagai kitab Jawa klasik pun memuat ketentuan itu. Jumlah yang tercantum di dalam kitab-kitab itu satu dengan lainya berbeda. Perbedaan-perbedaan jumlah jenis anak atau orang sukerta yang perlu diruwat itu adalah versi-versi yang patut diketahui.
Di dalam pentas  (pakeliran) lakon Murwakala diceritakan, ketika Batara Kala mengejar-ngejar anak ontang-anting Jaka Jatusmati yang lari ketakutan karena akan dimangsa Batara Kala. Waktu Batara Kala mengejar Jaka Jatusmati berkali-kali terhalang oleh berbagai hal, antara lain terjatuh karena batang waluh, karena tertimpa rumah ambruk, karena Jaka Jatusmati lolos lewat bagian bawah atap rumah yang belum diberi tutup keyong, karena terpeleset oleh batu penggiling ( Gandhik, Jw ), karena terselumbat linggis penyumbat kelapa, karena tertimpa dandang (periuk tinggi penanak nasi). Kesemuanya itu disebabkan oleh kelalaian orang sehingga dapat membahayakan orang lain. Semuanya itu, dan masih ada lain-lainnya, dikutuk oleh Batara kala dan termasuk menjadi mangsanya.

Maka dapatlah disimpulkan, bahwa yang disebut manusia sukerta ada 3 macam, yakni:

1. Golongan manusia yang cacat kodrati atau cacat karena kelahiran, seperti : Ontang-anting, Kedhana-kedhini, dan lain lain.
2. Cacat karena kelalaian., seperti : Jisim lelaku ( Berjalan seorang diri di waktu tengah hari ) dan lain lain.
3. Tertimpa sesuatu halangan, seperti : menanak nasi dandangtnya ambruk, mematahkan batu penggiling jamu ( pipisan, Jw ) menanam waluh di pekarangan muka dan lain lain.

Ruwatan, Kemusyrikan yang Dihidupkan Kembali oleh Kyai Liberal (Versi Hartono Ahmad Jaiz)
Beberapa hari lalu, rumah salah seorang tokoh politisi nasional dikabarkan sedang diruwat. Meski ada nuansa politis di balik upaya itu, ada baiknya kita memahami apai itu ruwatan yang akrab dalam budaya Indonesia.

Tugas utama para ulama dan muballigh ialah sekuat mungkin meredam kemusyrikan. Pasalnya, dosa terbesar di dunia ini menyekutukan Allah SWT dibandingkan dengan dosa lainnya. Di antara sekian banyak kemusyrikan, sedari dulu para ulama di nusantara berupaya keras meredam acara ruwatan. Yaitu, upacara kemusyrikan yang dilatarbelakangi oleh kepercayaan kepada sesosok dewa bernama Betoro Kolo. Orang yang meyakini kepercayaan itu, mengadakan ruwatan supaya terhindar dimangsa Betoro Kolo dan terbuanglah sialnya. Padahal sial ataupun beruntung itu datangnya hanya dari Allah Ta’ala, maka mestinya meminta hanya kepada Allah, bukan kepada selain-Nya, dan bukan dengan cara-cara yang tidak diajarkan Allah Ta’ala.

Terus terang, ketika pada tahun 2000 ada berita bahwa Presiden Abdurrahman Wahid akan diruwat, saya langsung teringat zaman sebelum peristiwa pemberontakan G30S/PKI 1965. Karena setahu saya adanya ruwatan itu hanya di daerah-daerah PKI atau kalangan orang abangan (Muslim yang tak menjalankan syariat, red) di Jawa.

Sedangkan di desa-desa yang masyarakatnya Islami tidak pernah melaksanakan ruwatan. Meskipun tidak otomatis ruwatan itu identik dengan PKI. Namun timbul pertanyaan, apakah Gus Dur mewarisi ajaran ruwatan itu dari gurunya? Ibu Rubiyah, salah seorang pendidik Gus Dur memang seorang Gerwani, aktivis PKI perempuan. Wallahua’lam. (Tentang guru Gus Dur di antaranya orang Gerwani itu lihat buku “Bahaya Pemikirian Gus Dur II, Menyakiti Hati Umat,” ditulis oleh Hartono Ahmad Jaiz, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, 2000).

Ruwatan itu sendiri tidak terdengar di masyarakat sejak dilarangnya PKI tahun 1966 ( melalui TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 Tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, Pernyataan Sebagai Organisasi Terlarang Di Seluruh Wilayah Negara Republik Indonesia Bagi Partai Komunis Indonesia Dan Larangan Setiap Kegiatan Untuk Menyebarkan Atau Mengembangkan Faham Atau Ajaran Komunis/Marxisme-Leninisme).

Namun, istilah ruwatan mulai terdengar lagi sejak 1990-an, setelah dukun-dukun berani muncul terang-terangan bahkan menggelar praktek di pusat-pusat perbelanjaan. Mereka juga membuat paguyuban yang mereka sebut PPI (Paguyuban Paranormal Indonesia). Konon, anggota paguyuban para “wali setan” (istilah hadits Nabi Muhammad SAW untuk dukun) itu berjumlah sekira 60.000 dukun.

Meski demikian, istilah ruwatan tidak begitu terdengar luas, dan baru sangat terdengar ketika ada kabar bahwa Gus Dur, Presiden Indonesia ke-4 yang juga mantan Ketua Umum PBNU (Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, satu organisasi yang berdiri sejak zaman Belanda 1926) akan diruwat. Kemudian, akhirnya dia benar-benar hadir dalam acara ruwatan di Universitas Gajah Mada di Yogyakarta, (18 Agustus 2000).

Apa itu ruwatan?
Ruwatan adalah satu upacara kepercayaan yang diyakini sebagai ritual membuang sial yang disebut sukerto alias penderitaan. Istilah ruwatan, artinya membebaskan ancaman dari marabahaya yang datangnya dari Betoro Kolo, raksasa pemakan manusia, anak raja para dewa yakni Betoro Guru.

Betoro Kolo, menurut kepercayaan kemusyrikan ini adalah raksasa buruk jelmaan dari sperma Betoro Guru yang berceceran di laut, ketika gagal bersenggama dengan permaisurinya, Batari Uma, ketika bercumbu di langit sambil menikmati terang bulan, sementara pada saat itu Batari Uma belum siap. Karena Batoro Guru gagal mengendalikan diri “dengan sang waktu” (kolo) maka sperma yang tercecer di laut dan menjadi raksasa buruk itu disebut Betoro Kolo, pemakan manusia.

Lalu, Betoro Guru berjanji akan memberi makan enak yaitu manusia yang dilahirkan dalam kondisi tertentu. Seperti kelahiran tanggal sekian yang menurut perhitungan klenik (tathoyyur) akan mengalami sukerto alias penderitaan. Juga yang lahir dalam keadaan ontang-anting (tunggal), kembang sepasang (dua anak lelaki semua atau perempuan semua), sendang apit pancuran(pria, wanita, pria), pendowolimo (5 anak pria semua), dan lainnya. (Lihat AM Saefuddin, Ruwatandalam Perspektif Islam, Harian Terbit, Jum’at 11 Agustus 2000, hal 6).

Itulah orang-orang yang harus diruwat menurut kepercayaan dari cerita wayang. Jadi, nilai cerita ruwatan itu sebenarnya juga hanya seperti nilai cerita yang dari segi mutunya saja sangat tidak bermutu.

Upacara ruwatan itu bermacam-macam. Ada yang dengan mengubur seluruh tubuh orang/ anak yang diruwat kecuali kepalanya, ada yang disembunyikan di tempat tertentu dan sebagainya.

Adapun, ruwatan yang dilakukan di depan Gedung Balairung Universitas Gajah Mada Yogyakarta, Jum’at malam 18/82000 itu dihadiri Presiden Abdurrahman Wahid didampingi isterinya Ny Nuriyah dan putri sulungnya Alissa Qatrunnada Munawaroh. Selainitu tampak hadir pula Kapolri Jenderal Rusdihardjo (belakangan, 3 bulan kemudian Rusdihardjo dipecat dari jabatannya sebagai Kapolri oleh Gus Dur, konon karena ada berita bocor yang menyebutkan hasil penyidikan kasus Bruneigate yang diduga menyangkut Presiden Gus Dur), Rektor UGM Ichlasul Amal, Sri Sultan Hamengku Buwono X, Sri Edi Swasono, dan Frans Seda.

Ruwatan itu dilaksanakan terhadap 11 orang akademisi disebut ruwatan bangsa, penyelenggaraannya diketuai Mayjen (purnawirawan) Hariyadi Darmawan. Mereka yang diruwat ituadalah Prof.Sayogya,Prof Kunto Wibisono, DrHariadi Darmawan, Tjuk Sukiadi, Prof Sri Edi Swasono, Ny Mubyarto, Bambang Ismawan, Nanik Zaenudin, Ken Sularto, Amir Sidharta, dan Wirawanto.

Sementara itu di luar Gedung UGM telah berlangsung demonstrasi mahasiswa yang menentang ruwatan tersebut.

Itulah acara ruwatan untuk menghindari Batoro Kolo dengan upacara seperti itu dan wayangan. Biasanya wayangan itu untuk memuji-muji Batoro Kolo, agar terhanyut dengan pujian itu, dan lupa memangsa. Di UGM itu wayangan dengan lakon Murwokolo dan Sesaji Rojo Suryo oleh dalang Ki Timbul Hadiprayitno.

Adat dan Kemusyrikan
Ruwatan itu ada yang menyebutnya adat, ada pula yang menilainya sebagai kepercayaan. Islam memandang, adat itu ada dua macam, adat yang mubah (boleh) dan adat yang haram. Sedang mengenai kepercayaan, itu sudah langsung haram apabila bukan termasuk dalam Islam.

Adat yang boleh contohnya blangkon (tutup kepala) untuk orang Jawa. Itu tidak dilarang dalam Islam. Adat yang boleh, seperti blangkon tersebut pun, jika diyakini akan terkena bahaya apabila tidak memakai blangkon (yang kaitannya dengan kekuatan ghaib) maka sudah menyangkut keyakinan/kepercayaan, hingga hukumnya dilarang atau haram, karena tidak sesuai dengan Islam. Keyakinan yang dibolehkan hanyalah yang diajarkan oleh Islam.

Demikian pula ruwatan, sekalipun ada yang mengatakan bahwa itu merupakan adat, namun karena menyangkut hal ghaib, berkaitan dengan nasib sial, bahaya dan sebagainya; maka jelas merupakan keyakinan batil, karena Islam tidak mengajarkan seperti itu.

Sedang keyakinan adanya bala akibat kondisi dilahirkannya seseorang itupun sudah merupakan pelanggaran dalam hal keyakinan, yang dalam Islam terhitung syirik, menyekutukan Allah Subhanahu wa Ta’ala, sedang orangnya disebut musyrik, pelaku durhaka terbesar dosanya.Tidak ada dalil yang menunjukkan benarnya keyakinan itu, namun justru ada ketegasan bahwa meyakini nasib sial dengan alamat-alamat seperti itu adalah termasuk tathoyyur, yang hukumnya syirik, menyekutukan Allah SWT; dosa terbesar.

Tathoyyur atau Thiyaroh adalah merasa bernasib sial, atau meramal nasib buruk karena melihat burung, binatang lainnya, atau pertanda-pertanda lainnya.

Abu Dawud meriwayatkan hadits marfu’ dari Ibnu Mas’ud ra:
الطِّيَرَةُ شِرْكٌ، الطِّيَرَةُ شِرْك،ٌ وَمَا مِنَّا إِلاَّ ، وَلَكِنَّ اللَّهَ يُذْهِبُهُ بِالتَّوَكُّلِ
”Thiyarah adalah syirik, thiyarah adalah syirik, dan tiada seorangpun dari antara kita kecuali (telah terjadi dalam hatinya sesuatu dari hal ini), hanya saja Allah menghilangkannya dengan tawakkal kepada-Nya.”(Hadits Riwayat Abu Daud). Hadits ini diriwayatkan juga oleh At-Tirmidzi dengan dinyatakan shahih, dan kalimat terakhir tersebut dijadikannya sebagai ucapan dari Ibnu Mas’ud. (Lihat Kitab Tauhid oleh Syaikh Muhammad At-Tamimi, terjemahan Muhammad Yusuf Harun, cetakan I, 1416H/ 1995, halaman 150).
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَنْ رَدَّتْهُ الطِّيَرَةُ مِنْ حَاجَةٍ فَقَدْ أَشْرَكَ ». قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا كَفَّارَةُ ذَلِكَ قَالَ « أَنْ يَقُولَ أَحَدُهُمْ اللَّهُمَّ لاَ خَيْرَ إِلاَّ خَيْرُكَ وَلاَ طَيْرَ إِلاَّ طَيْرُكَ وَلاَ إِلَهَ غَيْرُكَ

Imam Ahmad meriwayatkan hadits dari Ibnu ‘Amr bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapayang mengurungkan hajatnya karena thiyarah,maka dia telah berbuat syirik.” Para sahabat bertanya: ”Lalu apakah sebagai tebusannya?” Beliau menjawab, ”Supaya mengucapkan:
اللَّهُمَّ لاَ خَيْرَ إِلاَّ خَيْرُكَ وَلاَ طَيْرَ إِلاَّ طَيْرُكَ وَلاَ إِلَهَ غَيْرُكَ
“Ya Allah,tiada kebaikan kecuali kebaikan dari Engkau, tiada kesialan kecuali kesialan dari Engkau, dan tiada sembahan yang haq selain Engkau.”(H R Ahmad). (Syaikh Muhammad At-Tamimi, Kitab Tauhid, hal 151).

Sedangkan meminta perlindungan kepada Batoro Kolo agar tidak dimangsa dengan upacara ruwatan dan wayangan itu termasuk kemusyrikan yang dilarang dalam Al-Qur’an:
(وَلَا تَدْعُ مِنْ دُونِ اللَّهِ مَا لَا يَنْفَعُكَ وَلَا يَضُرُّكَ فَإِنْ فَعَلْتَ فَإِنَّكَ إِذًا مِنَ الظَّالِمِينَ (106
”Dan janganlah kamu memohon kepada selain Allah, yang tidak dapat memberi manfaat dan tidak pula mendatangkan bahaya kepadamu, jika kamu berbuat (hal itu), maka sesungguhnya kamu, dengan demikian, termasuk orang-orang yang dhalim (musyrik).” (Yunus/ 10:106).

{ إنك إذاً من الظالمين } : أي إنك إذا دعوتها من المشركين الظالمين لأنفسهم .
“…maka sesungguhnya kamu, dengan demikian, termasukorang-orang yang dhalim (musyrik).” Artinya sesungguhnya kamu apabila mendoa kepada selain-Nya adalah termasuk orang-orang musyrik yang mendhalimi kepada diri-diri mereka sendiri.

وَإِنْ يَمْسَسْكَ اللَّهُ بِضُرٍّ فَلَا كَاشِفَ لَهُ إِلَّا هُوَ وَإِنْ يُرِدْكَ بِخَيْرٍ فَلَا رَادَّ لِفَضْلِهِ يُصِيبُ بِهِ مَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ وَهُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ(107)
”Dan jika Allah menimpakan kepadamu suatu bahaya, maka tidak ada yang dapat menghilangkannya selain Dia; sedang jika Allah menghendaki untukmu sesuatu kebaikan, maka tidak ada yang dapat menolak karunia- Nya…”( Yunus: 107).

Kesimpulan:
1.Ruwatan mendatangkan dosa terbesar.
2.Ruwatan itu kepercayaan non Islam berlandaskan cerita wayang.
Ruwatan artinya upacara membebaskan ancaman Batoro Kolo, raksasa pemakan manusia, anak Betoro Guru/raja para dewa. Itulah kepercayaan musyrik atau penyekutuan terhadapAllah SWT yang berlandaskan cerita wayang penuh takhayyul, khurofat, dan tathoyyur (menganggap sesuatu sebagai pertanda datangnya sial). Upacara ruwatan itu bermacam-macam, ada yang dengan mengubur sekujur tubuh selain kepala, atau menyembunyikan anak/ orang yang diruwat, ada yang dimandikan dengan air kembang dan sebagainya.
Biasanya ruwatan itu disertai sesaji dan wayangan untuk menghindarkan agar Betoro Kolo tidak memangsa.
3. Ruwatan itu dari segi keyakinannya termasuk tathoyyur, satu jenis kemusyrikan yang sangat dilarang Islam, dosa terbesar.Sedang dari segi upacaranya termasuk menyembah/memohon perlindungan kepada selain Allah, yaitu ke Betoro Kolo, satu jenis upacara kemusyrikan, dosa terbesar pula. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الطِّيَرَةُ شِرْكٌ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ
“Thiyaroh (tathoyyur) adalah syirik (menyekutukan Allah), thiyaroh adalah syirik, thiyaroh adalah syirik, (diucapkan tiga kali). (HR Abu Dawud, At-Tirmidzi, dan dishahihkan oleh Ibnu Majah dari hadits Ibnu Mas’ud, dari Rasulullah saw).

4. Merasa sial karena sesuatu atau adanya pertanda -pertanda yang dianggap mendatangkan sial, termasuk perbuatan kemusyrikan. Kata Nabi SAW, “Barangsiapa yang tidak jadi melakukan keperluannya karena merasa sial, maka ia telah syirik.Maka para sahabat RA bertanya, Lalu bagaimana kafarat dari hal tersebut wahai Rasulullah? Maka jawab Nabi SAW, Katakanlah : Allahumma laa khairaillaa khairaka walaa thiyara illa thiyaraka walaa ilaha ghairaka”. Ya Allah, tidak ada kebaikan kecuali kebaikanMu, dan tidak ada kesialan kecuali kesialan (dari)Mu, dan tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain-Mu. (HR.Ahmad dari Abdullah bin Umar dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani).

Allah SWT juga berfirman:
(وَلَا تَدْعُ مِنْ دُونِ اللَّهِ مَا لَا يَنْفَعُكَ وَلَا يَضُرُّكَ فَإِنْ فَعَلْتَ فَإِنَّكَ إِذًا مِنَ الظَّالِمِينَ (106)
“Dan janganlah kamu memohon kepada selain Allah, yang tidak dapat memberi manfaat dan tidak dapat pula mendatangkan bahaya kepadamu, jika kamu berbuat (hal itu), maka sesungguhnya kamu, dengan demikian, termasuk orang-orang yang dhalim (musyrik)”. (QS Yunus/ 10:106).

5. Sudah jelas, Al-Qur’an dan Al-Hadits sangat melarang kemusyrikan. Bahkan, pelakunya diancam dengan adzab, baik di dunia maupun di akhrat. Namun kini kemusyrikan itu justru dinasionalkan. Maka perlu dibisikkan ke telinga-telinga mereka, bahwa sebenarnya perbuatan mereka itu sama dengan menantang datangnya adzab dan murka Allah SWT, di dunia maupun di akhirat.
Masyarakat perlu diberi penjelasan, bahwa ruwatan itu adalah kemusyrikan, dosa terbesar yang tidak diampuni. Hingga pelakunya bila meninggal dalam keadaan belum bertaubat dan berstatus musyrik, maka haram masuk surga, dan tempatnya di neraka. Karena Allah Ta’ala telah berfirman:
{إِنَّهُ مَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ} [المائدة: 72]
Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolongpun. (QS Al-Maaidah: 72).

Bagaimana menurut anda?. Simak pembahasannya dalam kontroversi berikutnya.


There is no ads to display, Please add some

Related posts

Membangun Kawasan Pedesaan, Kawasan Wisata Desa, Kawasan Desa Industri Menuju Kemandirian Desa Bebas Masalah

Penulis Kontroversi

Menyelamatkan Kehidupan di Jawa

Penulis Kontroversi

Teknik Menghindari Apes

Penulis Kontroversi

Leave a Comment