Image default
Profile

Eka Darmaputera: Sang Pejuang Toleransi

(lahir di Mertoyudan, Magelang, Jawa tengah, 16 November 1942 – meninggal di Jakarta, 29 Juni 2005 pada umur 62 tahun) adalah seorang pendeta dan teolog Indonesia yang banyak menulis sehingga karya-karya dan pikirannya seringkali muncul dalam berbagai surat kabar nasional Indonesia. Ia juga sering diundang menjadi pembicara di berbagai seminar dan lokakarya, baik di dalam maupun di luar negeri.

Latar belakang dan pendidikan
Eka dilahirkan dengan nama The Oen Hien sebagai anak sulung dari dua bersaudara dalam sebuah keluarga sederhana pemilik warung kecil yang hidupnya seringkali pas-pasan. Kadang-kadang selama berminggu-minggu mereka hanya mampu makan singkong. Pada 1953 ia lulus dari SD Masehi di Magelang, lalu melanjutkan ke SMP BOPKRI dan lulus dari sana pada 1957. Setelah lulus dari SMA Negeri Magelang pada 1960, ia mula-mula berkeinginan melanjutkan pendidikannya ke Akademi Militer Nasional yang juga terletak di Magelang, karena ia selalu terkesan oleh penampilan para taruna yang rapi dan gagah. Selain itu, ia juga banyak berteman dengan anak kolong – sebutan untuk anak-anak dari keluarga militer – yang tinggal tidak jauh dari rumahnya. Meskipun dilarang, dengan sembunyi-sembunyi Eka sering pergi mengunjungi teman-temannya di kompleks militer. Dengan mereka, Eka kerap kali berkeliling naik sepeda ke daerah Pecinan, sambil mengenakan sarung dan peci. Seperti umumnya anak-anak lelaki seusianya, tak jarang Eka bersama teman-temannya terlibat dalam perkelahian.

Mengingat kondisi keuangan keluarganya, akhirnya Eka memutuskan untuk tidak melanjutkan studinya ke Akademi Militer, melainkan menerima ajakan seorang temannya untuk bersama-sama mendaftar di Sekolah Tinggi Teologi Jakarta (STT Jakarta) untuk menjadi pendeta. Pertimbangannya, belajar di STT Jakarta ia dapat meminta bantuan beasiswa.

Menjadi mahasiswa
Setelah lulus ujian masuk, Eka tinggal di asrama STT Jakarta. Meskipun mendapat bantuan beasiswa, kesulitan keuangan Eka ternyata tidak begitu saja selesai. Dalam keadaan terdesak karena kiriman orangtuanya terlambat datang atau memang sangat terbatas, kenakalan Eka kadang-kadang muncul kembali. Bersama teman-temannya, ia malah pernah mencuri barang dari gudang asrama untuk dijual. Masalah keuangan kemudian sedikit teratasi setelah dia diterima mengajar di SMA BPSK Jakarta, dengan gaji Rp 1.500 sebulan.

Sejak duduk di bangku kuliah, Eka sudah aktif dalam kegiatan berorganisasi dan bergereja. Ia aktif dalam Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) dan pernah menjabat sebagai salah satu anggota Pengurus Pusat organisasi itu (1962-1966). Ia juga menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Gerakan Siswa Kristen Indonesia (GSKI) (1962-1966). Ia juga aktif dalam berbagai kegiatan Dewan Gereja-gereja di Indonesia (DGI), yang kini telah berubah nama menajdi Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia. Keaktifannya di DGI membuat ia mendapatkan beasiswa tambahan, sehingga hidupnya menjadi lebih terjamin. Di luar itu, ia aktif sebagai anggota Front Pemuda Pelajar pada 1965-1966.

Lulus dan menjadi pendeta
Pada 1966 Eka lulus dari kuliahnya di STT Jakarta dan ia segera melayani sebagai pendeta di sebuah jemaat GKI Jawa Barat di daerah Jakarta Timur. Di sini bakat kepemimpinan dan pemikiran-pemikirannya kembali mendapatkan penghargaan dari rekan-rekannya, sehingga pada usia yang masih sangat muda, pada 1968, ia diangkat menjadi Ketua Sinode di Gerejanya.

Sebelas tahun setelah melayani penuh di Gereja, Eka mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan studinya di Boston College di Boston dan Seminari Teologi Andover Newton, di Newton Center, kedua-duanya terletak di negara bagian Massachusetts, Amerika Serikat, dan lulus pada 1982 dengan gelar Ph.D. dalam bidang Agama dan Masyarakat. Eka menulis disertasinya dengan judul Pancasila and the Search for Identity and Modernity in Indonesian Society – An Ethical and Cultural Analysis. Dalam disertasinya ini, Eka berargumentasi bahwa Pancasila adalah sebuah ideologi yang sangat tepat bagi masyarakat Indonesia yang majemuk, karena ideologi ini bersifat inklusif. Pemikiran ini berbeda dengan penafsiran Pancasila yang muncul pada masa pemerintahan Orde Baru, khususnya pada tahun-tahun terakhirnya, yang justru mengharamkan perbedaan pendapat dan kemajemukan budaya Indonesia.

Pemikiran-pemikiran Eka Darmaputera tidak luput dari perhatian pendidikan teologi di dunia, sehingga pada Desember 1999, Seminari Teologi Princeton di New Jersey, Amerika Serikat, menganugerahkan kepadanya Kuyper Prize for Excellence in Reformed Theology and Public Life.

Kegiatan lain
Sejak awal kariernya sebagai seorang pendeta dan teolog, Eka telah aktif sebagai penganjur gerakan ekumenis antara pihak Protestan dan Katolik, dan antara pihak Kristen dengan agama-agama lainnya. Bersama-sama dengan Abdurrahman Wahid, Gedong Bagus Oka, dll. Eka adalah salah satu tokoh di balik pembentukan Dian/Interfidei, sebuah organisasi yang aktif bergerak dalam dialog antar iman dan berkedudukan di Kaliurang, Sleman.

Eka juga pernah duduk sebagai anggota Majelis Pekerja Harian Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia dan mengajar sebagai dosen di STT Jakarta dan Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga. Eka adalah salah satu dosen dari Southeast Asia Graduate School of Theology yang berkedudukan di Manila, Filipina.

Pada 1999 Eka merasa perlu berkiprah pula dalam ajang politik. Ia bergabung dengan Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan dan namanya muncul sebagai salah satu calon wakil rakyat dalam pemilihan umum tahun itu. Namun nama Eka tidak termasuk dalam daftar calon jadi, sehingga ia tidak sempat berjuang lewat kursi parlemen.

Akhir hayat dan kematian
Eka telah lama mengidap penyakit lever yang kemudian berkembang menjadi sirosis dan kanker hati. Penyakitnya ini menggerogotinya selama bertahun-tahun, hingga akhirnya pada 29 Juni 2005 ia menghembuskan napasnya yang terakhir di Rumah Sakit Mitra Internasional, Jakarta.

Jenazahnya sempat disemayamkan beberapa hari di Gereja Kristen Indonesia (GKI) Jl. Bekasi Timur IX, Jatinegara, Jakarta Timur, gereja yang dilayaninya sejak pertama kali lulus dari STT Jakarta hingga kematiannya dan kemudian dikremasikan di Krematorium Cilincing.

Keluarga
Eka meninggalkan seorang istri, Evang Meyati Kristiani, seorang ahli pendidikan dan seorang anak laki-laki Arya Wicaksana, yang tinggal di Australia bersama istrinya Vera Iskandar.

Bibliografi
Berikut ini adalah sebagian dari karya tulis Eka Darmaputera:

Spiritualitas Siap Juang: Khotbah-khotbah tentang Spiritualitas Masa Kini (2004)
Jalan Kematian, Kehidupan: Khotbah-khotbah pra-Paskah dan Paskah (2003)
Etika sederhana untuk semua: perkenalan pertama (1987, 2002) Jakarta: Gunung Mulia. ISBN 979-415-187-4
Etika sederhana untuk semua: Bisnis, Ekonomi dan Penatalayanan (1990, 2002), BPK Gunung Mulia. ISBN 979-415-477-6
Pergulatan kehadiran Kristen di Indonesia: teks-teks terpilih Eka Darmaputera (2001)
Kepemimpinan Kristiani: Spiritualitas, Etika, dan Teknik-teknik Kepemimpinan dalam Era Penuh Perubahan (2001)
Gereja dan Reformasi: Pembaruan Gereja menuju Indonesia Baru (1999)
AIDS: Kutukan Tuhan? Beberapa Catatan Medis, Teologis dan Etis (1995)
Pancasila and the Search for Identity and Modernity in Indonesian Society: a Cultural and Ethical Analysis, Leiden, New York: E.J. Brill, (1988)
Konteks Berteologi di Indonesia: Buku Penghormatan untuk HUT ke-70 Prof. Dr. P.D. Latuihamallo (sebagai penyunting, 1988)
Pancasila, Identitas dan Modernitas: Tinjauan Etis dan Budaya (1987)
Keluarga Berentjana dalam Rangka Keluarga Bertanggung djawab (1972)
Toleransi, Kerukunan, Pembangunan (1970)

Menjadi pendeta pejuang toleransi, dikenal dengan Pendeta Emeritus Eka Darmaputera alias The Oen Hien pantas jadi panutan dalam hal toleransi dan kemajemukan agama. Pria kelahiran Mertoyudan, Magelang, Jawa Tengah, 16 November 1942, itu meninggal dunia dalam usia 63 tahun, Rabu 29 Juni 2005 pukul 08.15 WIB di RS Mitra Internasional Jakarta. Eka mengidap penyakit lever yang berkembang menjadi sirosis dan kanker hati.

Jenazah Eka disemayamkan hingga Minggu (3/7) di Gereja Kristen Indonesia (GKI) Jatinegara, Jalan Bekasi Timur IX No 6, Jakarta Timur. Selanjutnya jenazah diberangkatkan dari gereja untuk dikremasi di Krematorium Cilincing. Eka meninggalkan seorang istri, Evang Meyati Kristiani, dan seorang putra, Arya Wicaksana, yang tinggal di Australia bersama istrinya Vera Iskandar.

Pendeta bergelar doktor dalam bidang agama dan masyarakat dari Andover-Newton, Boston, Amerika Serikat (1982) itu selama ini bertugas sebagai pengerja (pengurus) di GKI Jatinegara sampai pensiun (emeritus). Dia telah melayani dan mengabdikan diri di lingkungan gereja kurang lebih 21 tahun. Hampir seluruh waktunya tercurah dalam pelayanan gereja dan sosial baik di dalam negeri maupun luar negeri. Berbagai buku hasil karyanya sudah banyak diterbitkan dan diminati pembacanya.

Berbagai tulisan dan makalahnya disajikan dalam bahasa yang lugas dan tegas. Dia juga sering menjadi pembicara dalam berbagai seminar. Rubrik “Sabda” yang merupakan artikel tetap Eka Darmaputera di Sinar Harapan dan dimuat setiap hari Sabtu merupakan kumpulan tulisan-tulisan yang sangat diminati pembacanya, dan telah dibuat dalam bentuk buku.

Sinar Harapan (29/6/2005) memberitakan bahwa pada acara Malam Doa Bersama untuk Eka Darmaputera 9 Maret 2005,, Eka dalam pesan tertulisnya berkata, “Saya cuma mohon didoakan agar sekiranya benar ini adalah tahap pelayaran saya yang terakhir, biarlah Tuhan berkenan memberikan saya dan keluarga keteguhan iman, kedamaian dan keikhlasan dalam jiwa.”

Kendati dia sudah pensiun (emeritus), Eka tetap melayani jemaat GKI Jatinegara hingga akhir hayatnya. Idia juga mengajar di almamaternya di Sekolah Tinggi Teologia (STT) Jakarta dan Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga.
Terlahir dengan nama The Oen Hien, anak seorang pewarung kecil di desa Mertoyudan, Magelang, Jawa Tengah. Sebuah keluarga yang hidup pas-pasan. Terkadang mereka berminggu-minggu hanya makan singkong. Dia anak sulung dari dua bersaudara.

Dalam pergaulan keseharian, dia lebih dikenal dengan nama Eka Darmaputera. Sejak kecil, dia memang sudah lebih senang bergaul dengan anak-anak muda penduduk asli. Kendati ayahnya melarang bergaul dengan ”anak kolong tangsi” (rumah mereka berdekatan dengan kompleks militer), Eka dengan sembunyi-sembunyi sering pergi ke rumah teman di kompleks militer itu.

Dia mengganti pakaiannya dengan sarung dan pici. Seringkali Eka bergabung dengan para ‘gang tangsi’ itu berkeliling naik sepeda ke Pecinan (perkampungan Cina). Tidak jarang mereka terlibat perkelahian.

Dia menamatkan pendidikan daasar dan menengah di SD Masehi, Magelang (1953), SMP BOPKRI, Magelang (1957) dan SMA Negeri, Magelang (1960). Setamat SMA, ia ingin masuk AMN, ingin menjadi militer. Tetapi, dengan pertimbangan ekonomi, akhirnya dia menerima ajakan seorang teman mendaftar di Sekolah Tinggi Teologia Jakarta (STTJ).

Di sana dia diterima dan diasramakan di Jalan Proklamasi. Selama di asrama, seringkali dia kehabisan uang karena kiriman orangtua memang terbatas. Kadangkala saat kehabisan uang kenakalannya kambuh. Bersama teman-teman, dia malah pernah mencuri barang dalam gudang asrama untuk dijual.

Advertisement

Masalah keuangan kemudian sedikit teratasi setelah dia diterima mengajar di SMA BPSK Jakarta, dengan gaji Rp 1.500 sebulan. Selain itu, Eka juga aktif dalam berbagai kegiatan Dewan Gereja Indonesia (kini Persekutuan Gereja di Indonesia). Dengan aktivitasnya di DGI itu, ia pun mendapat beasiswa.

Dia meraih gelar STh dari STTJ pada 1966. Setelah melayani di Gereja Kristen Indonesia Jawa Barat selama sebelas tahun, kemudian ia dikirim mengambil gelar doktor di Boston College, Massachusetts, Amerika Serikat. Enam tahun dia di sana bersama istri dan anak tunggalnya, Arya. Setelah meraih gelar doktor (PhD) dengan disertasi berjudul Pancasila and the Search for Identity and Modernity in Indonesian Society — An Ethical and Cultural Analysis, dia bersama keluarga kembali ke Indonesia.

Selama di Amerika, dia terutama puteranya, Arya, sangat bangga dengan keindonesiaannya. Tetapi beberapa hari setelah kembali ke tanah air, Arya dengan wajah murung datang menemui Eka, ayahnya. ”Why do they call me Chinese? I’m not, am I?” katanya. Eka dengan lirih menjawab, ”Ya, kau memang Cina. Namun, lebih dari itu, engkau Indonesia.” 

Menyisakan Cerita
Maret 2005. Ia menggenggam sebuah pena seraya mencari lembaran kertas kosong. Ulu hatinya kian sakit. Sirosis telah bersarang di sana menggantikan lever yang sempat singgah bertahun-tahun lamanya. Meski perih, ia tetap saja menguatkan diri untuk menulis sebuah surat.

“Dan saya ditakjubkan serta amat diteguhkan oleh ribuan sahabat yang begitu peduli, memperhatikan dan menyayangi saya. Mereka terdiri dari segala bangsa, tinggal di pelbagai belahan dunia, penganut beraneka rupa agama, dan berasal dari beragam usia serta kedudukan sosial: dari seorang presiden Republik Jerman sampai seorang tukang parkir jalanan”, demikian penggalan surat itu.

Surat ini terangkai indah di ujung hayat Eka Darmaputera. Tersirat ucapan syukur lantaran kiprahnya selama 21 tahun di bidang teologi begitu dihargai.

Eka memang diingat sebagai teolog yang taat kepada Yesus. Meski begitu, dia juga merupakan pejuang yang tidak pernah membeda-bedakan orang dari agama, ras, suku, ataupun kebangsaannya. Malahan, ia berjuang untuk terciptanya toleransi dan kerukunan di antara perbedaan tersebut.

November 1942, tepatnya tanggal 16, tercatat sebagai hari lahirnya Eka. Kala itu ia dinamai The Oen Hien. Eka lahir di Mertoyudan, sebuah kecamatan kecil yang memiliki peran besar. Bagaimana tidak, Mertoyudan dilalui jalan provinsi yang menghubungkan Semarang-Magelang-Yogyakarta.

Eka kecil tidak bergelimang harta. Bisa dikatakan Eka besar dalam keluarga yang hidup pas-pasan. Ayahnya hanya mengandalkan sebuah toko kecil-kecilan. Dari hasil jualan itulah Eka dan kedua adiknya diberi makan. Kadang, jika jualan tidak begitu laku, Eka dan keluarganya harus pasrah menyantap singkong berminggu-minggu lamanya.

Hebatnya, hidup susah tidak menjadi penghalang Eka untuk mengenyam pendidikan. Oleh ayahnya, ia dimasukkan ke Sekolah Dasar (SD) Masehi. Pada tahun 1953 dia melanjut Sekolah Menengah Pertama (SMP) Badan Oesaha Pendidikan Kristen Republik Indonesia (BOPKRI). Ketika anak seusianya kebanyakan hanya lulus SMP, pada waktu itu pendidikan Eka terus melanjut. Kali ini ia diterima di salah satu sekolah menengah atas (SMA) milik pemerintah di Magelang.

Setelah mendapatkan ijazah SMA, hati kecil Eka sesungguhnya ingin sekali masuk sekolah militer di Akademi Militer Nasional (AMN). Eka selalu terpincut dengan kegagahan seragam militer. Ia pun banyak berteman dengan ‘anak kolong tangsi’, sebutan bagi anak-anak dari keluarga militer. Meski dilarang ayahnya, Eka sering bermain ke kompleks militer untuk bermain dengan mereka. Sayang, keterbatasan biaya memupuskan harapannya.

Bermodal ajakan teman, akhirnya Eka pindah haluan belajar teologi. Ia mendaftar di Sekolah Tinggi Teologi (STT) Jakarta yang menawarkan bantuan beasiswa pendidikan. Ditambah lagi ada bantuan tempat tinggal. Eka tinggal di asrama kampus yang berada di Jalan Proklamasi, Jakarta Pusat.

Meski mendalami pendidikan teologi, Eka tetaplah seorang dewasa muda yang tengah mencari jati diri. Pernah sekali ia mencuri barang dari gudang asrama lalu menjualnya. Hal itu dilakukannya saat uangnya benar-benar menipis. Maklumlah, Eka hanya diberi sangu kiriman yang sangat terbatas.

Beruntung, nasib baik mulai mendekati Eka. Ia akhirnya diterima sebagai pengajar di SMA BPSK Jakarta. Kala itu, ia digaji Rp1.500 setiap bulannya. Cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup Eka di ibu kota negara, juga untuk biaya sehari-hari dan dukungan biaya kuliah.

Pada tahun 1962 Eka bergabung menjadi pengurus organisasi kampus. Awalnya ia aktif dalam kegiatan-kegiatan yang diadakan Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI). Kemudian, melihat kontribusinya, ia didaulat menjadi salah satu anggota pengurus pusat organisasi tersebut selama empat tahun, yaitu sejak 1962 hingga 1966.

Di saat yang bersamaan, Eka juga dipercaya sebagai Sekretaris Jenderal (Sekjen) Gerakan Siswa Kristen Indonesia (GSKI). Ia turut pula berperan dalam kegiatan Dewan Gereja-gereja di Indonesia (DGI), sekarang menjadi Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI). Karena perannya di DGI yang terbilang banyak, Eka mendapatkan beasiswa tambahan yang membantu keuangannya.

Jelang kelulusannya, Eka bergabung menjadi anggota Front Pemuda Pelajar selama sekitar satu tahun, yaitu dari 1965 hingga 1966. Hingga kemudian ia dinyatakan lulus dari STT Jakarta pada tahun 1966.

Pro Keberagaman
Tahun 1966. Segera setelah lulus, Eka diminta menjadi pendeta jemaat Gereja Kristen Indonesia (GKI) di daerah Jakarta Timur. Dalam waktu yang relatif singkat gereja mengakui bakat kepemimpinannya. Ditambah lagi ia memiliki pemikiran-pemikiran yang tajam. Atas dasar inilah pada 1968 Eka diangkat menjadi Ketua Sinode. Di saat usianya masih terbilang muda.

Ia melayani sepenuh waktu di gereja tersebut 11 tahun lamanya. Di sela-sela pelayanan, ia menikah dengan Evang Meyati Kristiani. Membangun keluarga bahagia bersamanya. Ia juga menulis buku pertamanya berjudul Toleransi, Kerukunan, Pembangunan. Dilanjutkan dengan buku keduanya berjudul Keluarga Berentjana dalam rangka Keluarga Bertanggung Jawab. Eka memang menaruh perhatian besar pada aspek keberagaman yang ada di Indonesia yang seringkali diperdebatkan menjadi sumber ketidakrukunan.

Hingga kemudian, tawaran pendidikan lanjutan datang kepadanya. Eka tidak menyia-nyiakan kesempatan yang datangnya tidak rutin tersebut. Ia melanjutkan pendidikan di Boston College di Boston dan Seminari Teologi Andover Newton, di Newton Center, yang kebetulan keduanya terletak di negara bagian Massachusetts, Amerika Serikat.

Boston College merupakan lembaga pendidikan tinggi pertama di kota Boston. Sekolah tinggi ini didirikan pada tahun 1863 oleh Society of Jesus (Yesuit) dengan tujuan untuk mendidik komunitas imigran Katolik yang pada saat itu didominasi Irlandia.

Sementara, Princeton Theological Seminary atau Seminari Teologi Princeton adalah sekolah teologi independen di Princeton, New Jersey. Seminari yang berdiri tahun 1812 ini merupakan yang terbesar di antara sepuluh seminari yang berasosiasi dengan Gereja Presbiterian dan merupakan yang kedua tertua di Amerika Serikat (AS).

Selama berkuliah di AS, Eka didampingi oleh istri dan anak tunggalnya, Arya Wicaksana.  Enam tahun lamanya mereka tinggal di negeri Paman Sam itu. Pada tahun 1982, Eka mendapat gelar Ph.D. dalam bidang Agama dan Masyarakat setelah menulis tesis berjudul “Pancasila and the Search for Identity and Modernity in Indonesian Society – An Ethical and Cultural Analysis” (Pancasila dan Pencarian Identitas dan Modernitas dalam Masyarakat Indonesia – Analisis Etis dan Budaya).

Dalam tesisnya, Eka mengkaji Pancasila sebagai ideologi yang tepat bagi masyarakat Indonesia yang beragam. Hal ini jauh berbeda dengan penafsiran Pancasila di akhir Orde Baru (Orba) yang membatasi perbedaan pendapat dan keberagaman budaya.

Karena perhatiannya terhadap keberagaman inilah ia dianugerahi ‘Kuyper Prize for Excellence in Reformed Theology and Public Life’ oleh Princeton Theological Seminary atau Seminari Teologi Princeton pada Desember 1999. The Kuyper Prize sendiri didirikan pada tahun 1996 dengan mencatut nama teolog Belanda Abraham Kuyper.

Penghargaan ini diberikan setiap tahun kepada seorang sarjana atau pemimpin komunitas yang memiliki kontribusi luar biasa pada bidang yang mereka tekuni. Kontribusi tersebut tentunya harus mencerminkan ide dan nilai-nilai dari visi religius Neo-Calvinis, yaitu keterlibatan agama dalam permasalahan sosial, politik, dan budaya dalam satu atau lebih lingkungan masyarakat.

Dialog Antariman
Eka seorang yang bangga akan identitasnya sebagai orang Indonesia, begitu pula putranya. Ketika menghabiskan tahun-tahun di Amerika mereka tidak pernah malu mengakui diri sebagai orang Indonesia.

Sayang, kebanggaan mereka justru surut ketika kembali ke tanah air. Tahu-tahu Arya menghampiri ayahnya. Dengan kesalnya si anak bertanya pada Eka.

“Why do they call me Chinese? I’m not, am I?” (Mengapa mereka memanggilku China? Aku bukan China kan?)

Eka yang bingung terpaksa menjawab pertanyaan putra semata wayangnya agar tidak berkecil hati. “Ya, kau memang China. Namun, lebih dari itu, engkau Indonesia”, pungkas Eka.

Identitas memang menjadi hal yang dipermasalahkan banyak orang. Kendati satu kebangsaan, perbedaan ras, suku, dan identitas lainnya seringkali lebih mencolok. Karena permasalahan identitas yang seringkali dibesar-besarkan inilah, Eka banyak menulis tentang hidup rukun di tengah perbedaan.

Berbagai perbedaan juga banyak ditemui antargereja-gereja Protestan maupun antara Protestan dan Katolik. Hal ini juga tidak luput dari perhatian Eka. Dalam perjalanan karirnya Eka aktif menganjurkan gerakan oikumene.

Menurutnya, persatuan dan kesatuan Kristen adalah yang paling utama. Jangan sampai terpecah-belah karena doktrin, ajaran, sejarah, maupun praktik masing-masing denominasi. Ia bersikeras menyuarakan interdenominasi gereja.

Begitu pula dengan toleransi antara agama Kristen dan agama-agama lainnya. Tidak bisa dimungkiri, Indonesia memang mewarisi keberagaman, termasuk di dalamnya keberagaman agama. Oleh karena itu, kerukunan antarumat beragama menjadi satu hal yang harus dicapai.

Untuk mencapai tujuan tersebut, Eka kerapkali duduk bersama tokoh-tokoh pemuka agama lain, seperti K.H. Abdurrahman Wahid, Gedong Bagus Oka, dan lain-lain. Ia rutin mengadakan diskusi tentang toleransi dan perbedaan identitas.

Eka juga berada di balik pembentukan DIAN/Interfidei, sebuah organisasi yang aktif bergerak dalam dialog antariman yang berada di Kaliurang, Sleman. Walaupun bertempat di Yogyakarta, organisasi ini memiliki jaringan di sejumlah daerah dengan mengandalkan berbagai program unggulan.

Adapun program yang dijalankan Interfidei antara lain Program Pendidikan yang terdiri dari dua subprogram, yaitu kursus singkat dan program lokakarya. Program kursus singkat merupakan program pendidikan dalam bentuk belajar bersama antariman yang di dalamnya termasuk studi agama-agama dan studi agama dan masyarakat. Sementara, lokarkarya atau pelatihan merupakan program pengelolaan dinamika pluralisme dan pendidikan agama berbasis pluralis yang dilakukan lewat team building dan kegiatan sejenis.

Program kedua selain program pendidikan adalah Diskusi Terbatas, Seminar Nasional, Konferensi Internasional. Kemudian, ada pula program ketiga yakni penelitian dan program keempat yaitu penerbitan.

Selain itu, Eka kerap menulis buah pikirannya di surat kabar nasional. Eka banyak mengisi rubrik ‘Sabda’ di kolom Sinar Harapan. Tulisannya yang dimuat setiap sabtu itu akhirnya dibukukan, menambah koleksi buku-buku tulisannya.

Toleransi Sejati
“Toleransi yang sejati adalah toleransi yang secara sadar mengenali perbedaan yang ada, tahu sampai sejauh mana ia bisa mengatakan “ya”, serta kapan ia harus mengatakan “tidak”. Semua ini cuma bisa terwujud, bila orang benar-benar serius terhadap keyakinannya sendiri. Sebaliknya, “toleransi” yang tanpa prinsip dan tanpa batas, adalah toleransi yang palsu. Mengapa? Sebab bila orang berkata ia menyetujui apa saja, ini sebenarnya hanya menunjukkan betapa ia tidak menyetujui apa-apa”, tulis Eka suatu waktu.

Saat itu pikirannya memang sedang membara tentang toleransi yang tidak pernah benar-benar terwujud di negara ini. Toleransi diamatinya seringkali dijadikan kedok tanpa pernah benar-benar dimaknai.

Dalam 21 tahun perjalanan kariernya, Eka telah menorehkan banyak karya. Baik lewat tulisan maupun lewat ucapan-ucapannya di setiap seminar maupun lokakarya. Di setiap khotbahnya di gereja, maupun ajarannya di kampus. Ya, selain mengajar di STT Jakarta, Eka juga menjadi dosen di Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, dan di Southeast Asia Graduate School of Theology Manila, Filipina.

Tapi, siapa sangka Eka yang begitu lihai ternyata mengidap penyakit serius. Setelah bertahun-tahun terkena lever, Eka harus pasrah menjadi pasien sirosis dan kanker hati. Hebatnya, ia tidak pernah mengeluh. Pernah sekali dua kali ia marah juga kecewa. Tetapi itu semua tidak membuatnya meninggalkan Tuhan. Ia justru berterima kasih atas 21 tahun yang diberi kepadanya untuk mengabdi.

Sekitar tiga bulan sebelum kematiannya, Eka menulis satu surat panjang yang begitu menginspirasi. Dalam suratnya ia mengakui kedahsyatan Allah. Bagaimana Tuhan menuntunnya. Bagaimana ia disadarkan kendati perjalanan hidup tidak selalu menyenangkan, tetapi tak pernah sekalipun ia dikecewakan.

“Saudara-saudara sekalian, Paulus pernah menulis, “Bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan. Tetapi jika aku harus hidup di dunia, bagiku itu berarti bekerja memberi buah, jadi mana yang harus kupilih, aku tidak tahu” (Filipi 1:21). Itulah kerinduan saya. Segera bersama-sama dengan Kristus. Namun bila Ia masih menghendaki saya di dunia ini – entah lama, entah sebentar – doakanlah saya, agar itu dapat saya manfaatkan untuk bekerja memberi buah. Tidak berlama-Iama di pembaringan dan dalam kesakitan”, tulis Eka dalam suratnya.

Tiga bulan berselang (29 Juni 2005), Eka mengembuskan napas terakhirnya. Menyisakan arti perjuangan toleransi dan kerukunan yang diharapkan dapat terus dilanjutkan oleh generasi-generasi muda. 


There is no ads to display, Please add some

Related posts

Pria Pemanjat Papan Baliho Jadi Tontonan Warga

Penulis Kontroversi

Jelang May Day Polres Gresik Gelar Lomba Mancing Dengan Paguyuban Gresik Kampung Serikat Pekerja dan Serikat Buruh

Penulis Kontroversi

Perempuan-Perempuan Pengisi Jabatan Strategis Kota Solok

Penulis Kontroversi

Leave a Comment