Image default
  • Home
  • Berita Utama
  • Ketika Harga Rokok Naik, Akankah Angka Kemiskinan Bisa Naik Juga?
Berita Utama

Ketika Harga Rokok Naik, Akankah Angka Kemiskinan Bisa Naik Juga?

Rokok adalah salah satu inverior good. Artinya, berapapun harganya orang akan membeli

Rokok merupakan salah satu komponen terbesar dalam penghitungan inflasi dan Rokok juga merupakan konsumsi rakyat miskin yang terbesar kedua setelah beras

JAKARTA; Pemerintah memutuskan menaikkan tarif cukai rokok efektif per 1 Januari 2020. Kenaikan cukai ini merupakan hasil rapat yang dipimpin Presiden Joko Widodo di Istana Kepresidenan Jakarta .(September 2019 lalu)

Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan menetapkan tarif cukai hasil tembakau (CHT) atau cukai rokok sebesar 23%. Imbasnya ada kenaikan harga jual eceran (HJE) sebesar 35%. Kenaikan harga rokok sejalan dengan aturan pemerintah menaikkan tarif cukai hasil tembakau (CHT) sudah berlaku pada 1 Januari 2020. Aturan tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 152/PMK.010/2019 tentang Perubahan Kedua atas PMK Nomor 136/PMK.010/2017 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau.

Jika dirinci, rata-rata kenaikan tarif CHT tahun 2020 sebesar 21,55%. Tarif CHT Sigaret Kretek Mesin (SKM) naik sebesar 23,29%. Kemudian Sigaret Putih Mesin (SPM) naik 29,95%, dan Sigaret Kretek Tangan (SKT) atau Sigaret Putih Tangan naik 12,84%.

Sedangkan jenis produk tembakau seperti tembakau iris, rokok daun, sigaret kelembek kemenyan, dan cerutu tidak mengalami kenaikan tarif cukai. Kalau dihitung dengan cukai rokok yang baru, maka per 1 Januari 2020, harga sebungkus rokok bisa mencapai di atas Rp 30 ribu.

Sebagai informasi, Kementerian Keuangan mencatat realisasi penerimaan Cukai Hasil Tembakau atau CHT per 5 Desember 2019 mencapai Rp 143,66 triliun. CHT menjadi penyumbang terbesar dari penerimaan bea dan cukai.

Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, dengan kenaikan cukai rokok ini maka otomatis harga jual rokok eceran juga naik, yakni ke angka 35%.

Tiga Faktor Penentu di Balik Kenaikan Cukai Rokok

Dalam kajian Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu, kenaikan cukai rokok didasari oleh aspek kesehatan, industri, dan penerimaan negara

Pemerintah akan menaikkan cukai rokok sebesar 23 persen pada tahun depan. Kenaikan cukai tersebut juga dibarengi dengan kenaikan harga jual eceran rokok sebesar 35 persen. Kenaikan tarif tersebut disebabkan tak adanya perubahan harga pada tahun ini.

“Fakta bahwa tahun ini, kami tidak menaikan tarif sehingga dihitung naik dua kali atau dua tahun. Sehingga, lompatan dari 2018 ke 2020 langsung (tinggi),” kata Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan, Heru Pambudi, pada Sabtu (14/9) di Jakarta.

Dalam kajian Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan, kenaikan cukai rokok didasari oleh beberapa pertimbangan, yakni aspek kesehatan, industri, dan penerimaan negara. Pemerintah berusaha mengendalikan konsumsi rokok, khususnya perempuan dan anak-anak. Namun tetap memperhitungkan dampak pada industri rokok dan kontribusinya untuk negara.

Kendati demikian, kenaikan cukai rokok ini disesalkan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI). Menurut Ketua Umum Perkumpulan GAPPRI Henry Najoan, keputusan kenaikan cukai tidak pernah dikomunikasikan dengan kalangan industri.

Menaikkan Harga Rokok Itu Penting

Ketua Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan Universitas Indonesia, Profesor Budi Hidayat, SKMM, PhD, mengatakan, harga rokok perlu terus dinaikkan sampai melebihi kemampuan membayar masyarakat (ability to pay). Tujuannya tentu untuk mengurangi jumlah perokok, dan menjegal kenaikan angka perokok baru.

Hal tersebut diutarakan Prof Budi dalam diskusi bertajuk “Urgensi Menaikkan Harga dan Cukai Rokok” yang digelar di Jakarta. (26/7)

“Kenaikan harga rokok itu idealnya mencapai 150-170 persen”, ujarnya. Menurut Prof Budi, kenaikan sebesar itu dinilai aman dan bisa memangkas jumlah perokok atau setidaknya mengurangi konsumsi rokok mereka.

“Kenaikan sebesar itu tidak akan berefek pada industri. Artinya, tidak akan menyebabkan kemiskinan, pengangguran, atau kerugian fiskal pemerintah”, ia melanjutkan. Di sisi yang sama, dengan kenaikan sebesar itu, harga rokok akan berada di atas kemampuan membeli rata-rata masyarakat Indonesia.

Sayangnya, kemungkinan besar kenaikan sejauh itu mustahil diwujudkan, setidaknya dalam waktu dekat. Rencana ini pasti akan ditolak mentah-mentah oleh industri rokok.

“Industri rokok tidak akan mau menaikkan harga (sampai sejauh itu) karena mereka akan kehilangan pembeli sensitif, yaitu pembeli yang uangnya terbatas, seperti anak-anak atau pelajar”, ujar dr Nurul Nadia HW Luntungan, MPH, dari Komisi Nasional Pengendalian Tembakau.

Mengutip pernyataan Prof Budi Hidayat, Indonesia memang bak surga rokok. Murahnya harga rokok memungkinkan siapa pun bisa merokok di mana saja.

Satu bungkus rokok di Indonesia harganya rata-rata Rp 20 ribu. Di Singapura, satu bungkus rokok bisa lebih dari Rp 100 ribu, tak jauh berbeda dari Malaysia, Thailand dan Australia.

Faktanya, harga cukai rokok di Indonesia memang jauh lebih rendah dari yang ditetapkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia. Faktor ini salah satu pendukung rokok bisa dijual murah di Indonesia.

Sebelumnya harga cukai rokok baru saja sukses dinaikkan 10 persen. Keputusan ini sekilas memang signifikan, tapi pada praktiknya hal ini tidak membuat perbedaan.

Berhenti Merokok Tiba-tiba atau Bertahap?
Ilustrasi berhenti merokok
Abdillah Hasan, SE, MSE, dosen dan peneliti di Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia mengungkapkan data, kampanye industri rokok adalah untuk membidik perokok generasi baru, dan mereka cukup berhasil melakukannya sampai saat ini.

“Jumlah perokok usia 15-19 tahun di Indonesia meningkat drastis dalam 18 tahun terakhir. Jadi bisa dibilang usahanya perusahaan rokok ini sukses”, ujarnya.

Tahun 1995, jumlah perokok usia 15-19 tahun hanya sekitar 7 persen, tapi pada 2013 mencapai 20 persen. Usia pertama orang merokok pun turun. Kalau 1995, kebanyakan orang mulai merokok di usia 19 tahun ke atas; pada 2013, 50 persen perokok mulai merokok di bawah usia 19 tahun.

“Mengurangi jumlah perokok di Indonesia sudah tidak bisa lagi dengan edukasi,” ucap Nurul. “Sudah harus dengan mengatur kebijakan”.

Dengan menaikkan harga cukai rokok, atau harga rokok di pasaran sampai di atas kemampuan membeli rata-rata masyarakat, hal ini bisa memutus rantai generasi perokok baru di Indonesia.

Selama harga rokok masih seperti saat ini, apalagi jika industri rokok masih terus mengiklankan harga rokok mereka untuk per batangnya, generasi perokok baru (anak-anak atau pelajar) akan terus terjerat.

Ketika Harga Rokok Naik, Akankah Angka Kemiskinan Juga Naik?

Menurut Managing Director Politicial Economy and Policy Studies (Peps) Anthony Budiawan mengatakan kebijakan ini bisa berdampak pada meningkatnya angka kemiskinan di Indonesia.

“Menurut saya ini dilematis karena kalau dilihat dari para perokok rata-rata berasal dari kalangan menengah ke bawah itu yang dimana mereka akan menjadi lebih miskin karena mengeluarkan budget yang tinggi untuk membeli rokok”, ujarnya di Jakarta. (31/12/2019).

Anthony mengatakan bahwa rokok adalah salah satu inverior good. Artinya, berapapun harganya orang akan membeli.

Dengan demikian, imbuh Anthony, perokok hanya bisa mengurangi konsumsi rokoknya dengan semakin mapan kondisi keuangan. Apabila sudah begitu, maka semakin meningkat pula kesadaran untuk hidup sehat dan tidak merokok.

“Jadi kita lihat di negara maju jumlah perokoknya sedikit dibanding dengan negara miskin karena tingkat kesadaran untuk menjaga kesehatannya juga ada. Jadi menurut saya tidak ada pengaruh bea cukai rokok naik dengan menurunnya jumlah perokok di Indonesia dan kalau tujuannya untuk membantu keuangan Indonesia mengapa tidak pajak bangunan pabriknya saja yang ditinggikan?”, tutupnya.

Pembeli Rokok Diprediksi Berkurang

Ketua Umum Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Soeseno memprediksi jumlah jumlah pembeli rokok bakal berkurang di tahun 2020 ini.

“Ya bakal kurang (pembelinya), tapi untuk pengurangannya berapa persen belum bisa dipastikan”, kata Soeseno kepada awak media. (31/12/2019)

Untuk memastikan tingkat pengurangan pembeli rokok, menurut Soeseno butuh waktu mengingat kenaikan harga rokok baru saja ditetapkan awal tahun ini.

“Nanti Agustus-September itu baru nanti mulai terlihat, kira-kira Januari sampai Agustus ini bagaimana dampak penjualan rokoknya”, kata Soeseno.

Soeseno menyebutkan jika terjadi pengurangan pembelian otomatis penyerapan petani tembakau akan berkurang. Hal ini sekaligus mengurangi pendapatan dan juga kesejateraan petani tembakau.

“Kalau memang penjualannya turun maka pabrik akan mengurangi penyerapan bahan baku dan ini berdampak pada petani. Karena rokok semakin mahal, konsumen enggak mampu beli. Omset ( perusahaan rokok) turun. Berarti serapan turun, itu akan terlihat. Kalau sekarang belum musim tembakau”, katanya.

Namun demikian, di sisi lain ada kemungkinan perusahaan rokok memiliki kebijakan sendiri agar produknya tetap laku di pasaran.

“Kalau pemerintah sudah menetapkan. Tapi kan pabriknya punya kebijakan agar rokoknya laku dipasaran. Mungkin saja ada semacam subsidi sehingga harga rokok masih bisa tetap terjangkau’, tegasnya.

Kenaikan Cukai Rokok Tak Dongkrak Inflasi

Kenaikan tarif cukai hasil tembakau (CHT) pada awal 2020 diyakini tidak akan mempengaruhi laju inflasi.Hal ini diungkapkan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati saat ditemui seusai acara Festival Transformasi 2019 di Gedung Dhanapala, Kompleks Kementerian Keuangan Jakarta. Beberapa waktu yang lalu (29/10/2019)

Menurut Sri Mulyani, kenaikan CHT merupakan salah satu dari sekian banyak komponen penghitungan inflasi. Pihaknya akan terus melakukan monitor terhadap seluruh indikator-indikator itu, termasuk konsumsi rokok.

Kendati demikian, dirinya optimistis kenaikan CHT tidak akan berdampak terhadap laju inflasi pada 2020. Target inflasi Indonesia dalam APBN 2020 yang telah disahkan berada pada angka 3,1% +\- 1%.

“Perkiraan kami dari seluruh unsur penghitungan, [inflasi] akan terjaga hingga akhir tahun”, katanya.

Sudah Tepat

Hal sebaliknya diungkapkan oleh ekonom CORE Indonesia Yusuf Rendy Manilet. Ia mengatakan sebenarnya keputusan pemerintah menaikkan CHT sudah tepat untuk mengurangi konsumsi rokok.

Namun, menurutnya, kenaikan CHT justru dapat mempengaruhi laju inflasi. Pasalnya, pola konsumsi rokok masyarakat Indonesia relatif inelastis.

“Artinya ketika harga rokok naik, pola konsumsi masyarakat akan mengikuti kenaikan harga tersebut. Tidak mengurangi konsumsi secara signifikan”, kata Yusuf.

Pola konsumsi yang inelastis juga ditambah minimnya bantalan yang disediakan masyarakat untuk menjaga daya beli masyarakat. Hal tersebht terlihat dari alokasi subsidi listrik dan solar yang akan dipotong pada 2020.

Ia melanjutkan, bila kenaikan CHT tidak ditambah dengan pemberian bantalan untuk menjaga daya beli, keputusan ini dapat berbalik merugikan perekonomian Indonesia. Kenaikan harga barang lain akan terjadi yang juga mendorong inflasi melebihi target yang dicanangkan.

“Ini yang perlu diwaspadai pemerintah karena rokok merupakan salah satu komponen terbesar dalam penghitungan inflasi. Rokok juga merupakan konsumsi rakyat miskin yang terbesar kedua setelah beras”, katanya.

Kenaikan CHT merupakan imbas diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan No.152/ PMK.04/2019 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT). Dengan terbitnya PMK tersebut, kenaikan tarif rata-rata sebesar 23% dan harga jual eceran (HJE) sebesar 35% resmi berlaku pada awal tahun 2020.

Waspada Inflasi Februari 2020

Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan kebijakan pemerintah menaikkan cukai rokok yang berlaku mulai awal tahun akan memberikan dampak ke inflasi tahun ini. Sedangkan, kenaikan iuran BPJS belum akan berdampak karena tidak masuk dalam komponen pengeluaran.

Kepala Badan Pusat Statistik Suhariyanto mengatakan, dampak kenaikan harga cukai rokok baru akan terlihat pada penghitungan inflasi Februari 2020.

“Rokok iya akan pengaruh, nanti kita lihat Februari”, kata Suhariyanto di kantor BPS. Jakarta, Kamis (2/01/2020)

Sementara itu, untuk iuran BPJS Kesehatan yang naik mulai tahun 2020, tidak dihitung pada komponen inflasi karena bukan pengeluaran, kecuali bila ada kenaikan dari sisi biaya administrasi.

“Assuransi bukan pengeluaran karena akan dinikmati belakangan. Semua negara seperti itu, jadi kenaikan BPJS tidak akan pengaruh’, katanya menambahkan.

Inflasi 2019 2,72% terendah sejak 2012

BPS mengumumkan, inflasi tahun kalender sepanjang tahun 2019 sebesar 2,72% menjadi yang terendah sejak tahun 2012 jika menggunakan tahun acuan yang sama.

“Kalau 1999 lebih rendah, tapi tahun dasarnya beda”, urai Suhariyanto.

3 Alasan inflasi begitu rendah

Dia menyebutkan ada tiga alasan kenapa inflasi di tahun ini begitu rendah. Pertama, dari sisi komponen harga-harga cenderung terkendali. Cadangan beras sepanjang 2019 cukup

Kedua, harga yang diatur pemerintah pada 2018 memberikan kontribusi inflasi sebesar 0,66%, sekarang hanya 0,10%. Tingginya kontribusi pada tahun lalu karena ada kebijakan kenaikan harga BBM dan harga tiket pesawat.

“Tarif angkutan udara bergerak liar tidak menjadi penyebab di 2019”, paparnya.

Terakhir, dia mengingatkan dari sisi inflasi inti sebesar 3,02% harus ekstra hati-hati. Sebab secara tahunan polanya mendekati tahun 2017.
(Isa)


There is no ads to display, Please add some

Related posts

Machfud Arifin: Tugas Korwil Cuma Koordinasi

Penulis Kontroversi

LSM Ilham Nusantara Mempertanyakan Perizinan PT Aplus Pacific

Penulis Kontroversi

Kontroversi THR untuk PNS Bakal Cair H-10 Lebaran

Penulis Kontroversi

Leave a Comment