Image default
  • Home
  • Budaya
  • Pesan Terakhir Hamsad Rangkuti Bagi Penulis Muda
Budaya Peristiwa Profile

Pesan Terakhir Hamsad Rangkuti Bagi Penulis Muda

Hamsad termasuk seniman penandatangan Manifes Kebudayaan pada 1964, pernyataan para seniman yang menolak politik sebagai panglima. Presiden Soekarno melarang kelompok itu karena dinilai menyeleweng dan ingin menyaingi Manifesto Politik yang ia tetapkan

Kontroversi Tokoh Sastra: Sastrawan Hamsad tutup usia pada Minggu pagi. Penulis “Bibir Dalam Pispot” itu meninggal dalam usia 75 tahun. Nama-nama yang sudah tak asing lagi dalam dunia kesusastraan, berdatangan ke rumah duka untuk melepas kepergian pria Mandailing itu. Ada penyair Taufiq Ismail dan penulis Eka Budianta, disebutkan Istri Hamsad Nur Windasari. Namun, menurut Nur, tak sedikit pula wajah anak-anak muda yang ingin mengucap selamat jalan untuk Hamsad.

“Alhamdulilah banyak kawan bapak yang datang. Banyak anak-anak muda juga datang, tapi saya enggak hapal namanya,” ujar Nur kepada awak media. (26/08)

Hal ini menunjukkan bahwa sebagai maestro cerpen Indonesia ini masih peduli dengan anak muda yang berkarya. Bahkan, Nur windasari sempat mengatakan bahwa Hamsad selalu berpesan: “Biarkan anak muda berkarya. Kita engga berhak menilainya, biarkan waktu yang menilai. Enggak boleh ada yang mengklaim diri atau meremehkan anak muda.”

Pesan itu nampaknya juga ditujukan kepada putra pertamanya yang telah menempuh pendidikan Sastra Indonesia di Universitas Nasional.

“Cuman dia tidak berani karena karyanya jauh di bawah. Padahal Ayahnya tidak mengajarkan untuk seperti Bapak”, ujar Nur.

Karya terakhir
“Ketika Lampu Berwarna Merah,” “Wanita Muda di Sebuah Hotel Mewah,” dan “Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya di Bibirku Dengan Bibirmu,” merupakan beberapa novel Hamsad Rangkuti yang populer.

Hamsad nampaknya tak pernah ingin berhenti berkarya. Dia, yang selalu menggunakan mesin ketik, bahkan mencoba berkenalan dengan teknologi.

“Tiga tahun lalu Bapak mencoba pakai laptop, diajari anaknya, tapi akhirnya menyerah,” kenang Nur.

Menurut Nur, Hamsad berniat untuk membuat novel baru.

“Judulnya sepertinya “Hujan Deras di Gunung,” ditulis di kertas buram tapi sudah diketik Bapak pakai mesin ketik,” ujar dia.

Sayangnya, karya tersebut tertinggal di kediaman sebelumnya yang berlokasi di Jalan Bangau VI, yang telah delapan tahun ditinggalkan keluarga Hamsad.

“Rumahnya sudah hancur koleksi buku bapak udah satu kayak tanah, udah berfosil di makan rayap,” kata Nur.

Rumah yang telah ditempati selama 35 tahun tersebut, menurut Nur, ditinggalkan karena pembangunan bak sampah di belakang rumah oleh Pemerintah Kota Depok kala itu.

Saat ini keluarga Hamsad bertempat tinggal di Jalan Swadaya 8, Tanah Baru, Depok, rumah di mana dia menghembuskan napas terakhir.

Tutup usia
“Semalam jam 1 malam, seperti biasa, ngasih makan malam terakhir, sudah kasih minum obat, segala macam, mulai dingin (badan) Bapak, tapi cuman di kepala saja,” tutur Nur.

Nur kemudian menyelimuti bagian yang dingin itu, sementara bagian kaki menurutnya masih terasa panas.

Dia kemudian memeriksa ulang bagian kepala, sebelum dia tidur, sambil mengingatkan diri bahwa dia harus bangun pukul 5 pagi untuk membuatkan obat dan menyiapkan makanan yang harus ia lakukan setiap 3,5 jam sekali.

Nur mengatakan sudah dua tahun tiga bulan Hamsad mengalami stroke.

Selama itu pula, menurut Nur, Hamsad hanya bisa berkomunikasi melalui gerakan mata sebelah kirinya — mata kanan sudah terkancing karena penyempitan pembuluh darah ke otak.

Keluar-masuk rumah sakit telah dijalani Hamsad. Bahkan, dua bulan lalu, Hamsad dirawat selama 50 hari di rumah sakit, dengan semua biaya ditanggung oleh keluarga.

Nur tidak memiliki firasat buruk menjelang kepergian suaminya itu.

“Jam 5 saya bangun seperti biasa saya bikin obat untuk dilarutkan terlebih dahulu, jam 5 seprempat saya pegang kaki masih hangat akhirnya saya bikin susu,” ujar Nur.

“Ketika mau minum obat, saya pegang perutnya dingin. Lima menit kemudian saya pegang lagi dadanya dingin, saya raba terus ke atas ke hidungnya, oksigen saya cabut. Inalillahi rupanya Bapak sudah dipanggil Yang Kuasa,” tambah dia.

Kilas Balik Masa Silam
Bersama lima saudaranya, Hamsad melewatkan masa kecilnya di Kisaran, Asahan, Sumatera Utara. Dia suka menemani bapaknya, yang bekerja sebagai penjaga malam merangkap guru mengaji, di pasar kota perkebunan itu. Hamsad juga membantu ibunya mencari makan dengan menjadi penjual buah di pasar dan buruh pencari ulat di perkebunan tembakau.

Karena tak mampu berlangganan koran dan membeli buku, Hamsad rajin membaca koran tempel di kantor wedana setempat. Dari koran-koran itu ia berkenalan berkenalan dengan karya-karya para pengarang terkenal, seperti Anton Chekov, Ernest Hemingway, Maxim Gorki, O. Henry, dan Pramoedya Ananta Toer. Dia pun mulai tertarik untuk menulis karya sastra. Cerita pendek pertamanya dia tulis saat masih duduk di bangku SMP di Tanjungbalai, Asahan, pada 1959. Cerpen “Sebuah Nyanyian di Rambung Tua” itu dimuat di sebuah koran di Medan.

Dia hanya bisa sekolah hingga kelas 2 SMA pada 1961, karena tak mampu membayar uang sekolah. Hamsad lalu bekerja sebagai pegawai sipil di Kantor Kehakiman Komando Daerah Militer II Bukit Barisan di Medan. Tapi, ia tetap ingin menjadi pengarang. Pada 1964 dia masuk rombongan delegasi pengarang Sumatera Utara pada Konferensi Karyawan Pengarang Seluruh Indonesia (KKPI) di Jakarta dan sejak itu menetap di Jakarta dan tinggal di Balai Budaya, Jalan Gereja Theresia, Jakarta Pusat.

Hamsad termasuk seniman penandatangan Manifes Kebudayaan pada 1964, pernyataan para seniman yang menolak politik sebagai panglima. Presiden Soekarno melarang kelompok itu karena dinilai menyeleweng dan ingin menyaingi Manifesto Politik yang ia tetapkan.

Sejumlah cerita pendek Hamsad telah diterjemahkan ke dalam bahasa asing, seperti “Sampah Bulan Desember” yang diterjemahkan ke bahasa Inggris dan “Sukri Membawa Pisau Belati” yang diterjemahkan ke bahasa Jerman. “Umur Panjang Untuk Tuan Joyokoroyo” dan “Senyum Seorang Jenderal pada 17 Agustus” dimuat dalam Beyond the Horizon, Short Stories from Contemporary Indonesia yang diterbitkan oleh Monash Asia Institute. Tiga kumpulan cerpennya Lukisan Perkawinan dan Cemara pada tahun 1982 serta Sampah Bulan Desember pada tahun 2000, masing-masing diterbitkan oleh Pustaka Sinar Harapan, Grafiti Pers, dan Kompas. Novel pertamanya, Ketika Lampu Berwarna Merah diterbitkan oleh Kompas pada 1981. Cerpen-cerpennya juga termuat dalam beberapa antologi cerita pendek mutakhir, termasuk Cerpen-cerpen indonesia Mutakhir (1991) yang disunting Suratman Markasam.

Karya-Karya:

Kumpulan Cerita Pendek:
Bibir dalam Pispot (2003)
Sampah Bulan Desember (2000)
Lukisan Perkawinan (1982)
Cemara (1982)

Novel
Ketika Lampu Berwarna Merah (1981)

Penghargaan
1. Hadiah Harapan Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (1981) untuk Ketika Lampu Berwarna Merah
2. Penghargaan Insan Seni Indonesia Mal Taman Anggrek & Musicafe (1999)
3. Penghargaan Sastra Pemerintah DKI (2000)
4. Penghargaan Khusus Kompas atas kesetiaan dalam penulisan cerpen (2001)
4. Penghargaan Sastra Pusat Bahasa (2001)
5. Khatulistiwa Literary Award 2003 untuk Bibir dalam Pispot
6. Pemenang Cerita Anak Terbaik 75 Tahun Balai Pustaka (2001) untuk “Umur Panjang untuk Tuan Joyokoroyo” dan Senyum “Seorang Jenderal pada 17 Agustus”
SEA Write Award (2008)
7. Penghargaan Anugerah Kebudayaan dan Penghargaan Maestro Seni Tradisi

Aneka Rupa Karya
“Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya di Bibirku dengan Bibirmu” dibacakan Hamsad dan dipentaskan pada Festival November 1998 di Taman Ismail Marzuki

“Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya di Bibirku dengan Bibirmu” mengilhami lagu “Bibir” karya Samantha Band, grup musik asal Bandung yang beranggotakan empat perempuan.

Lagu “Bibir” ditayangkan SCTV pada Kamis, 21 Oktober pukul 01.10 Waktu Indonesia Tengah (WITA) dan diprotes oleh Komisi Penyiaran Sulawesi Selatan, karena lirik dalam refrain “Kan kuhapus bibirnya dari bibirmu dengan bibirku, dengan bibirku…” dianggap melanggar norma kesopanan dan kesusilaan. (Isa)


There is no ads to display, Please add some

Related posts

Kado menyongsong di akhir masa jabatan sebagai Kades Tanah landean Kec. Balongpanggang Kab. Gresik

Penulis Kontroversi

MPR sesalkan masih ada praktik jual-beli jabatan

Penulis Kontroversi

Realisasi KUR 2018 Capai Rp. 79,2 Triliun

Penulis Kontroversi

Leave a Comment