Image default
Peristiwa

PPS Sebagai Solusi

Program ini bertujuan untuk meningkatkan kepatuhan sukarela wajib pajak dan diselenggarakan berdasarkan asas kesederhanaan, kepastian hukum, serta kemanfaatan

 

Oleh Imam Ahmad Bashori Al-Muhajir
Editor Moh Ardi Munichatus Sa’adah

 

Kini pemerintah telah menyusun Program Pengungkapan Sukarela (Voluntary Disclosure Program) dalam Undang-Undangan Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).

Dalam program tersebut wajib pajak diberikan kesempatan untuk mengungkapkan hartanya yang belum atau kurang diungkapkan.

Kementerian Keuangan mengatakan bahwa program ini bertujuan untuk meningkatkan kepatuhan sukarela wajib pajak dan diselenggarakan berdasarkan asas kesederhanaan, kepastian hukum, serta kemanfaatan.

Pelaporan Program Pengungkapan Sukarela (PPS) ini dilakukan secara online melalui akun resmi DJP dalam jangka waktu 24 jam sehari dan 7 hari seminggu dengan standar Waktu Indonesia bagian Barat (WIB).

 

Bagaimana Wajib Pajak Berpartisipasi dalam Pengungkapan Sukarela?

Adapun yang bisa wajib pajak lakukan dalam program pengungkapan sukarela ini adalah sebagai berikut:

  1. Pembayaran PPh berdasarkan pengungkapan harta yang tidak atau belum sepenuhnya dilaporkan peserta Program Pengampunan Pajak (Tax Amnesty).
  2. Pembayaran PPh berdasarkan pengungkapan harta yang belum dilaporkan dalam SPT Tahunan Pajak Penghasilan Orang Pribadi Tahun Pajak 2020.

Dalam program yang berlangsung selama 6 bulan ini, wajib pajak bisa mengungkapkan harta bersih yang belum atau kurang diungkapkan dalam surat pernyataan sepanjang Direktorat Jenderal Pajak belum menemukan data/informasi mengenai harta yang dimaksud mulai dari 1 Januari 2022 – 30 Juni 2022.

Harta bersih yang dimaksud dianggap sebagai tambahan penghasilan dan dikenai PPh yang bersifat final. Tarifnya pun dihitung dengan cara mengalikan tarif dengan dasar pengenaan pajak.

 

Tarif PPh Final pada Program Pengungkapan Sukarela

Pada program ini, tarif yang dikenakan terbagi menjadi 2 kebijakan. Dalam kebijakan pertama, tarif PPh Final ditetapkan dalam rentang 6%-11% dengan rincian sebagai berikut:

  • 6% untuk harta di luar negeri yang direpatriasi dan harta di dalam negeri yang diinvestasikan dalam Surat Berharga Negara (SBN) dan hilirisasi Sumber Daya Alam (SDA) dan energi terbarukan.
  • 8% untuk harta di luar negeri yang direpatriasi dan harta di dalam negeri.
  • 11% untuk harta luar negeri yang tidak direpatriasi ke dalam negeri.

Kebijakan kedua dalam program tax amnesty jilid II ini berlaku bagi wajib pajak yang belum pernah melaporkan kekayaan yang diperoleh pada 2016-2020 dan belum dilaporkan selama SPT 2020. Maka wajib pajak diberikan kesempatan dengan tarif PPh Final sebagai berikut:

  • 12% untuk harta di luar negeri yang direpatriasi dan harta dalam negeri yang diinvestasikan dalam SBN dan hilirisasi SDA dan energi terbarukan.
  • 14% untuk harta di luar negeri yang direpatriasi dan harta di dalam negeri.
  • 18% untuk harta di luar negeri yang tidak direpatriasi ke dalam negeri.

 

1 Januari – 30 Juni 2022

Program Pengungkapan Sukarela (PPS) telah resmi dimulai pada 1 Januari 2022 dan akan berakhir pada 30 Juni 2022. Program yang didasarkan pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 196/PMK.03/2021 itu memberikan penjelasan dan tata cara kepada Wajib Pajak untuk mengungkapkan kewajiban perpajakan berupa pelaporan harta yang belum dipenuhi secara sukarela.

 

Dua pilihan

Ada dua kebijakan dalam program PPS tersebut:

Pertama, PPS untuk wajib pajak yang telah mengikuti program Tax Amnesty berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 yang belum atau tidak seluruhnya mengungkapkan harta dalam Surat Pernyataan.
Apabila data dan/atau informasi mengenai harta tersebut ditemukan oleh Direktur Jenderal Pajak maka akan dianggap sebagai penghasilan dan dikenai PPh Final 25% (badan), 30% (orang pribadi), atau 12,5% (WP tertentu) dari harta bersih yang ditemukan dengan tambahan sanksi 200%.

Kedua, PPS untuk wajib pajak orang pribadi yang belum melaporkan harta yang diperoleh sejak tanggal 1 Januari 2016 sampai dengan tanggal 31 Desember 2020, jika informasi mengenai harta tersebut ditemukan oleh DJP dapat dianggap penghasilan dan dikenai pajak sesuai tarif yang berlaku ditambah sanksi administrasi.

 


Partner Tax Sundfitris LM Sitompul dalam webinar yang digelar Kantor akuntan publik dan konsultan RSM mengatakan, banyak keuntungan yang bisa diperoleh wajib pajak yang mengikuti PPS.

Untuk Kebijakan I, wajib pajak terhindar dari tambahan pajak dan sanksi 200% apabila harta tersebut ditemukan oleh DJP.

Untuk Kebijakan II, wajib pajak tidak akan diterbitkan ketetapan pajak atas kewajiban perpajakan untuk tahun 2016 sampai dengan tahun 2020 kecuali terdapat pajak yang sudah dipotong atau dipungut tapi tidak disetorkan oleh wajib pajak.

“Selain itu data yang bersumber dari PPS tidak dapat dijadikan sebagai dasar penyelidikan, penyidikan, dan/atau penuntutan pidana terhadap wajib pajak”, jelas Sundfitris Sitompul dalam siaran pers RSM, (Rabu,2/2/2022).

Untuk konsekuensi yang patut dipertimbangkan adalah apabila terdapat harta lain yang belum diungkapkan setelah PPS berakhir.

Bila DJP menemukan ketidaksesuaian antara harta yang diungkapkan dengan keadaan sebenarnya, DJP dapat mengenakan pajak untuk Kebijakan 1 yaitu sebesar 25% (badan), 30% (orang pribadi), atau 12,5% (WP tertentu) dari harta bersih dengan tambahan ditambah sanksi 200%, dan untuk Kebijakan 2 sebesar 30% dari nilai harta bersih ditambah sanksi administratif berupa bunga sesuai ketentuan umum perpajakan.

 

Nilai harta bersih

Sementara Partner Tax Rizal Awab mengatakan, kewajiban paska PPS meliputi kewajiban untuk membukukan nilai Harta Bersih yang disampaikan dalam Surat Pengungkapan sebagai tambahan atas saldo ditahan dalam neraca untuk wajib pajak yang diwajibkan menyelenggarakan pembukuan.

Atas tambahan harta dan/atau utang yang diungkapkan wajib pajak dicatat dan dilaporkan pada SPT Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak 2022 sebagai perolehan harta baru dan perolehan utang baru sesuai tanggal Surat Keterangan.

“Harta yang diungkapkan dalam Surat Pengungkapan yang berupa aktiva berwujud maupun aktiva tidak berwujud tidak dapat disusutkan untuk tujuan perpajakan. Wajib pajak yang melakukan repatriasi harta ke Indonesia dan/atau melakukan investasi wajib menyampaikan laporan realisasi repatriasi dan/atau investasi kepada DJP,”, pungkas Rizal.

Wajib pajak yang akan mengikuti PPS diwajibkan untuk melakukan pembayaran pajak penghasilan bersifat final sebesar nilai bersih harta yang diungkapkan.

Apabila harta bersih berada di Indonesia atau direpatriasi ke Indonesia dan diinvestasikan pada jenis investasi yang disyaratkan maka tarif kebijakan I dikenakan 6% dan tarif kebijakan II sebesar 12%.

Bila  harta bersih berada di Indonesia atau direpatriasi ke Indonesia namun tidak diinvestasikan pada jenis investasi yang disyaratkan maka tarif kebijakan I sebesar 8% dan kebijakan II sebesar 14%.

Sedangkan  harta bersih berada di luar negeri dan tidak direpatriasikan ke Indonesia maka tarif kebijakan I adalah 11% dan kebijakan II sebesar 18%.

Jenis investasi yang disyaratkan yaitu investasi pada kegiatan usaha sektor pengolahan sumber daya alam atau sektor energi terbarukan atau dalam Surat Berharga Negara.

Investasi tersebut harus dilakukan paling lambat tanggal 30 September 2023 dengan jangka waktu paling singkat 5 tahun sejak diinvestasikan.

 

DR Elia Mustikasari Dosen Perpajakan Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas Airlangga mengatakan, di era keterbukaan dan informasi yang terkoneksi seperti saat ini makin kecil kemungkinan wajb pajak (WP) menghindar dari kewajiban melaporkan hartanya.

Dia menjelaskan, setiap pembelian saat ini mensyaratkan untuk menggunakan NIK dan NPWP. Dari situ informasi harta kekayaan WP akan terlihat.

“Sekarang kalau kita mau tidak melaporkan, ketika nantinya mau menjual atau membeli semua itu muncul. Karena semua informasi itu sudah sangat terbuka dan risiko terdeteksi sangat besar,” kata Elia dalam program Wawasan, Rabu (2/3/2022).

Dia pun juga mencontohkan, kalau dulu apabila ingin membuka rekening pribadi seseorang atas kasus kejahatan pajak harus seizin Menteri Keuangan, sekarang akses tersebut sudah dimiliki oleh Dirjen Pajak. Ini artinya semua informasi sudah terbuka.

Risiko yang dimaksud Elia salah satunya adalah tambahan sanksi sebesar 200 persen disertai tambahan pajak penghasilan yang besarannya disesuaikan untuk harta kekayaan yang tidak dilaporkan, jika ada harta yang tidak dilaporkan.  Sanki itu akan dikenakan pada PPH dengan tarif untuk WP pribadi 30 persen, WP badan 25 persen, dan WP tertentu 12,5 persen ditambah 200 persen.

Oleh karena itu, Elia menjelaskan, pemerintah memberi kesempatan lagi kepada para WP yang belum melaporkan harta kekayaannya atau tidak melaporkan seluruh harta kekayaannya dalam Program Pengungkapan Sukarela (PPS).

“Pemerintah memberi jembatan sebagai media untuk excuse, menebus dengan tarif tertentu atas harta yang tidak dilaporkan. Apalagi yang ikut amnesty kemarin tidak dilaporkan seluruhnya, risikonya besar banget, jadi karena kita tidak bisa menghindar dari pajak, maka manfaatkan masa PPS ini,” tegasnya.

 


There is no ads to display, Please add some

Related posts

Tata Kelola Gambut Indonesia Jadi Rujukan Dunia

Penulis Kontroversi

Machfud Arifin: Tugas Korwil Cuma Koordinasi

Penulis Kontroversi

Songsong HUT Bhayangkara Ke-75, Kapolsek Balongpanggang Bagikan Masker

Penulis Kontroversi

Leave a Comment