Anak-anak yang masyarakatnya berpendapatan menengah ke bawah itu hanya kebagian sekolah yang kurang kompetitif dan sekolah swasta. Kalau sekolah juga dikenai pajak, mereka mendapat pukulan 2 atau 3 kali lipat untuk pengeluaran. Ini yang semestinya dipertimbangkan dengan serius para pembuat kebijakan di Kemenkeu
Oleh Imam Ahmad Bashori Moh Ardi
Editor Munichatus Sa’adah
Banyak orang hebat di sekitar kita. Kisah mereka layak dibagikan agar jadi inspirasi bagi semua. Yuk daftarkan mereka sebagai Sosok Kontroversi 2021... DAFTARKAN
Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi mendesak pemerintah untuk mengusut pihak-pihak yang sengaja membocorkan dokumen soal rencana pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk sembako hingga sekolah. Mengingat, terjadinya kegaduhan atas isu sembako yang akan dikenai PPN itu.
“Soal bocornya isu sembako yang akan dikenakan PPN, harus diusut dulu-lah,” ungkapnya dalam diskusi virtual dengan salah satu awak media. Sabtu (12/6).
Bahkan, Tulus Abadi juga meminta adanya pemberian sanksi tegas terhadap pihak-pihak yang terlibat di dalamnya. Hal ini sebagai bentuk keadilan di tengah gencarnya kampanye pemerintah dalam memerangi hoax.
“Kalau pemerintah suka keras kepada masyarakat yang menyebar hoax, siapa yang menyebarkan ini harus kemudian di sanksi juga. Karena tadi itu diklaim sebagai sebuah kebocoran yang kemudian banyak pemotongan (dokumen) yang tidak perlu. jangan sampai kalau masyarakat yang melakukan ini ditindak tapi kalau oknum pejabat atau politisi dibiarkan. Ini tidak fair”, protes Tulus.
Fokus memulihkan ekonomi
Sebelumnya, Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati menegaskan pemerintah saat ini masih tetap fokus untuk memulihkan ekonomi. Sehingga, dia sangat menyayangkan adanya kegaduhan di tengah masyarakat mengenai isu sembako akan dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
“Diblow up seolah-olah tidak memperhatikan situasi sekarang. Kita betul-betul menggunakan instrumen APBN karena memang tujuan kita pemulihan ekonomi dari sisi demand side dan supply side”, katanya dalam Raker bersama Komisi XI DPR RI di Jakarta, Kamis (10/6).
Terlebih lagi, menurut Sri Mulyani draft RUU KUP tersebut bocor dan tersebar ke publik dengan aspek-aspek yang terpotong dan tidak secara utuh sehingga menyebabkan kondisi menjadi kikuk.
“Situasinya menjadi agak kikuk karena ternyata kemudian dokumennya keluar karena memang sudah dikirimkan kepada DPR juga. Yang keluar sepotong-sepotong”, ujar Sri Mulyani.
Meski demikian, dia menuturkan pemerintah masih belum bisa menjelaskan secara detail mengenai isu ini karena dari sisi etika politik memang belum ada pembahasan dengan DPR RI.
“Dari sisi etika politik, kami belum bisa menjelaskan sebelum ini dibahas. Karena ini adalah dokumen publik yang kami sampaikan kepada DPR melalui surat Presiden”, tegas Sri Mulyani.
Sri Mulyani menjelaskan RUU KUP dibacakan terlebih dahulu dalam sidang paripurna yang kemudian akan dibahas bersama Komisi XI DPR RI terkait seluruh aspeknya mulai dari waktu hingga target pengenaan pajak.
“Itu semua kita bawakan dan akan kita presentasikan secara lengkap by sector, by pelaku ekonomi, kenapa kita menurunkan pasal itu, backgroundnya seperti apa. Itu semua nanti kami ingin membahas secara penuh dengan Komisi XI”, jelas Sri Mulyani.
Belum melakukan pembahasan
Rencana pemerintah memberlakukan pajak pertambahan nilai (PPN) terhadap sembilan bahan pokok (sembako) langsung menuai kritik dan kecaman dari sejumlah elemen masyarakat.
Anggota Komisi XI DPR RI, Kamrussamad mengatakan, saat ini parlemen belum melakukan pembahasan RUU KUP sebagai revisi UU 6/1983. Namun sudah ada banyak polemik yang bermunculan.
Politisi Partai Gerindra ini secara tegas akan menolak kebijakan ngawur pemerintah tersebut lantaran akan membebani rakyat kecil.
“Kita akan menolak, jika ada kewajiban perpajakan baru yang membebani rakyat. Karena daya beli belum sepenuhnya membaik, ekonomi masih megap-megap. Pengangguran dan kemiskinan semakin bertambah. Pendapatan rumah tangga menurun, kok kebutuhan bahan pokok mau dipajakin”, tegas Kamrussamad kepada salah satu awak media. Rabu (9/6/2021)
Adapun rencana pengenaan pajak tersebut diatur dalam Pasal 4A draf revisi UU No 6/1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).
Dalam draft beleid tersebut, barang kebutuhan pokok serta barang hasil pertambangan atau pengeboran dihapus dari kelompok barang yang tidak dikenai PPN.
“Dengan penghapusan itu berarti barang itu akan dikenakan PPN”, imbuh Kamrussamad.
Lebih lanjut Kamrussamad menjelaskan, jenis-jenis kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan masyarakat dan tak dikenakan PPN itu sebelumnya diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan nomor 116/PMK.010/2017. Barang-barang tersebut meliputi beras dan gabah, jagung, sagu, kedelai, garam konsumsi, daging, telur, susu, buah-buahan, sayur-sayuran, ubi-ubian, bumbu-bumbuan, dan gula konsumsi.
Kamrussamad menyarankan pemerintah untuk melakukan Reformasi Fundamental Regulasi Perpajakan secara sungguh-sungguh dan menyeluruh. Dilanjutkan membangun kepercayaan wajib pajak dengan cara memberikan Jaminan Zero Korupsi di perpajakan.
“Berani mengambil tindakan dengan berhentikan pejabat korup sampai dua tingkat di atasnya dan dua tingkat ke bawah”, harapnya.
Kamrussamad juga meminta pemerintah untuk optimalkan penggalian potensi PPh yang tertuang dalam Pasal 25, Pasal 29 dan Pasal 23 UU KUP untuk barang impor dan konsultan asing dalam pembangunan infrastruktur.
“Implementasikan kesepakatan pertukaran data otomatis yang sudah diteken antarnegara melalui AEoI untuk mengejar WP di luar negeri”, tutup Kamrussamad.
Cari sektor lain
Anggota DPR RI dari Fraksi Partai Gerindra, Novita Wijayanti mengingatkan agar dalam setiap mengeluarkan kebijakan tidak membebani masyarakat, terlebih masyarakat ekonomi menengah ke bawah.
Seharusnya, sambung dia, kebijakan publik yang dikeluarkan oleh Pemerintah mendukung atau meringankan kondisi perekonomian masyarakat di tengah lesunya perekonomian saat Pandemi Covid-19 ini.
“Pemerintah seharusnya dalam mengeluarkan kebijakan yang pro terhadap kondisi rakyatnya, apalagi di saat lesunya perekonomian akibat Pandemi yang belum dapat diprediksi kapan berakhirnya,” kata Novita kepada awak media di Jakarta, Jumat (11/6/2021)
Karena itu, Novita berpandangan agar Pemerintah tidak memaksakan kebijakannya mengenai pemberlakuan pengenaan pajak pertambahan nilai atau PPN terhadap sembilan kebutuhan pokok (Sembako).
Sebagai informasi, pemerintah berencana mengenakan PPN untuk sembako. Sembako yang bakal dikenakan PPN adalah beras dan gabah, jagung, sagu, kedelai, garam konsumsi, daging, telur, susu, buah-buahan, sayur-sayuran, ubi-ubian, bumbu-bumbuan, dan gula konsumsi.
“Alangkah bijaknya, bila pemerintah untuk mengkaji lagi kebijakannya dalam mengoptimalisasi penerimaan negara melalui sektor perpajakan,” ucap Wakil Ketua BURT DPR RI.
Tidak hanya itu, legislator dari Dapil Cilacap-Banyumas ini pun juga meminta pemerintah untuk memiliki kepekaan dari setiap reaksi yang disampaikan oleh masyarakat atas rancangan Undang-Undang pengenaan PPN tersebut.
Pemerintah, kata bendahara Fraksi Partai Gerindra ini, seharusnya dapat melakukan inovasi dalam pemungutan pajak sebagai sumber penerimaan negara dengan tetap mengedepankan rasa keadilan dan tidak membebani kondisi masyarakat.
“Saya yakin tim ekonomi Presiden Jokowi dapat mencari potensi pendapatan lainnya sebagai sumber penerimaan negara di sektor Pajak. Jangan sampai ada kesan masyarakat (menengah ke bawah) di tengah pandemi seperti ‘sudah jatuh tertimpa tangga pula’, kasihan kan,”pungkas Anggota Komisi V DPR RI itu.
Untuk diketahui, aturan sembako bakal kena PPN ini tertuang dalam Revisi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP). Mengacu Pasal 4A RUU KUP, sembako dihapus dalam kelompok jenis barang yang tidak dikenai PPN.
PPN sendiri termasuk jenis pajak tidak langsung, maksudnya pajak tersebut disetor oleh pihak lain (pedagang) yang bukan penanggung pajak atau dengan kata lain, penanggung pajak (konsumen akhir) tidak menyetorkan langsung pajak yang ia tanggung.
PPN Untuk Sekolah Membebani Rakyat
Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) Dr. H. M Hidayat Nur Wahid, MA menolak wacana pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) untuk sembako dan sekolah/jasa Pendidikan. Wacana PPN iru terdapat dalam draft revisi Undang-Undang No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana diubah terakhir kali dengan UU No. 16 Tahun 2009.
Hidayat Nur Wahid mengatakan, wacana kebijakan tersebut tidak hanya berdampak negatif kepada ekonomi rakyat menengah ke bawah yang sudah terdampak oleh pandemi Covid-19. Tetapi juga tidak mencerminkan pelaksanaan dari 2 sila Pancasila terkait dengan kemanusiaan yang adil dan beradab. Serta keadilan sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia.
“Mereka, masyarakat menengah ke bawah, mayoritas rakyat Indonesia yang terhubung dengan sekolah dan sembako justru dikenakan pertambahan pajak, sedangkan orang kaya / konglomerat diberikan kebijakan tax amnesty, juga pajak 0% untuk PPnBM. Kebijakan seperti itu jelas sangat tidak adil dan tidak manusiawi, tidak sesuai dengan Pancasila pada sila ke 2 dan ke 5,” ujarnya.
Pernyataan tersebut disampaikan Hidayat Nur Wahid dalam acara Halal Bi Halal Nasional Ikatan Dai Indonesia (IKADI) di Jakarta, Jumat (11/6/2021).
Menurut Hidayat, pemerintah harusnya bukan hanya terpaku pada pemenuhan pajak di era pandemi, tapi justru di era pandemi seperti ini, pemerintah mestinya berinovasi agar dapat melakukan kewajibannya melindungi, memakmurkan dan mencerdaskan seluruh Rakyat Indonesia.
“Karena pandemi covid-19 mengakibatkan daya beli dan daya bayar Rakyat menurun drastis. Mestinya pemerintah membantu Rakyat, jangan malah membebani dengan pajak-pajak yang tidak adil itu,” lanjutnya.
Karena itu Hidayat menolak tegas apabila pengenaan PPN ini juga menyasar kepada jasa pendidikan swasta baik formal, non formal maupun informal. Ia menuturkan seharusnya kegiatan yang dilakukan oleh Masyarakat baik individu maupun Organisasi termasuk Muhammadiyah, NU, dan yang lain dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang sesungguhnya membantu Pemerintah melaksanakan kewajibannya. Kepada mereka mestinya diberikan insentif, bukan justru dibebani dengan dikenakan pajak
“Seharusnya pemerintah berterimakasih, dan melindungi atau membantu pihak swasta yang menjadi penyelenggara jasa pendidikan karena telah membantu pemerintah memenuhi hak setiap warga negara untuk memperoleh pendidikan sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (1) UUD NRI 1945,” tuturnya.
Wakil Ketua Majelis Syuro Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini menilai wacana pengenaan pajak seperti ini bisa menambah beban, sangat memberatkan lembaga pendidikan swasta baik pendidikan umum maupun keagamaan seperti Madrasah dan Pesantren, yang masuk pada kategori pendidikan formal, informal maupun non formal. Karena sektor pendidikan swasta itu juga sangat terdampak akibat pandemi Covid-19. Pasalnya, bila merujuk kepada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 223/PMK.011/2014 tentang Kriteria Jasa Pendidikan yang Tidak Dikenai Pajak Pertambahan Nilai, mencakup juga pendidikan formal, non formal dan informal, karenanya termasuk lembaga pendidikan keagamaan. Ketentuan ini akan terimbas apabila aturan rujukannya diubah melalui revisi UU KUP yang didorong oleh pemerintah, menjadi pihak-pihak yang termasuk dalam kategori dihapus dari ketentuan tidak terkena pajak.
“Muhammadiyah, NU dan lainnya sudah sangat lama dan sangat banyak membantu pemerintah melaksanakan kewajiban pendidikan nasional, baik umum maupun keagamaan. Pada saat mereka kesusahan akibat Covid-19 mestinya kalau pun pemerintah tidak bisa membantu, ya jangan menambah kesulitan mereka dengan memberlakukan pajak (PPN) kepada mereka. Selain membebani dari sisi keuangan, juga bisa merubah paradigma pendidikan sebagai investasi untuk peningkatan SDM Indonesia, menjadi komuditas material objek pajak,” tambahnya lagi.
Hidayat berharap Menkeu Sri Mulyani dalam rangka memenuhi target-target penerimaan negara dari pajak, agar berlaku adil dan profesional dengan memperhatikan kondisi keseluruhan Rakyat Indonesia, dan agar benar-benar memberlakukan sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab serta Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Antara lain memberlakukan penambahan pajak pada para konglomerat, jangan malah membebani Rakyat dengan PPN. Karena itu Menkeu harus mengkoreksi atau mencabut revisi RUU Perpajakan yang akan mengenakan pajak terhadap sembako dan lembaga pendidikan.
“DPR harus benar-benar mendengarkan aspirasi publik, menghadirkan keadilan dan memastikan bahwa tidak ada revisi UU perpajakan yang tidak adil yang justru menambah beban Rakyat, seperti draft revisi RUU Perpajakan yang bocor dan beredar luas itu,” pungkasnya
There is no ads to display, Please add some