Image default
  • Home
  • Opini
  • Kajian
  • Problematika Terkini Standard Kesehatan dan Keselamatan Kerja [Awal hingga Pandemi]
Kajian Opini Referensi Tenaga Kerja

Problematika Terkini Standard Kesehatan dan Keselamatan Kerja [Awal hingga Pandemi]

Seperti saat revolusi industri sebelumnya, pada saat ini upaya telah bergeser pada hal mengubah apa dan bagaimana orang akan bekerja (termasuk di Indonesia) dengan banyaknya orang yang diramalkan akan bekerja sendirian, sampai pada pemerintah yang akan dapat mengidentifikasi jenis pekerja sebagai subyek yang juga memiliki resiko tinggi terhadap keselamatan dan kesehatannya di ruang lingkup tempat kerjanya

Pendekatan Runtut Vs Pendekatan Sistematis Kesehatan dan Keselamatan Kerja (sebuah pendekatan termudah, terkini dan gampang dilakukan)

Pendekatan runtut adalah menggambarkan Standard Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K-3) dengan kalimat yang berurutan dari bagian awal hingga bagian akhir sehingga sesuai dan selaras.

Pendekatan sistematis adalah Segala Usaha Untuk Merumuskan Standard Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K-3) Secara Logis Sehingga Membentuk Suatu Sistem Yang Utuh,Terpadu, Menyeluruh, Mampu menjelaskan rangkaian Kesehatan dan Keselamatan Kerja Yang menyangkut obyeknya.

Berorientasi mendapatkan perhatian serius

Tak dapat disangkal hingga kini aspek “kesehatan dan keselamatan kerja” atau disingkat K-3 belum mendapat perhatian serius di Indonesia. Kalaupun hal tersebut sering dibicarakan diberbagai seminar dan diskusi, umumnya tidak disertai dengan konsep implementasi yang jelas dan konkrit.

dampak bukan hanya menghilangkan pekerjaan lama tetapi juga telah menciptakan pekerjaan baru yang pada akhirnya akan mempengaruhi mekanisme sistem Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) di era sekarang

Kenyataan ini tentu tidak akan menguntungkan bagi Indonesia di masa mendatang, sebab masalah tersebut sejak dua dekade silam sudah menjadi isu internasional yang serius, karena berkaitan erat dengan berbagai masalah lainnya yang kini mendapat sorotan dunia.

Dari aspek penggunaan teknologi, misalnya perkembangan teknologi industri yang maju dengan pesat disatu sisi telah memberikan manfaat luar biasa bagi kehidupan ummat manusia. Namun disisi lain teknologi juga menebar beraneka ragam ancaman serius bagi kesehatan dan keselamatan masyarakat, terutama bagi para pekerja dan lingkungan sekitar lokasi industri. Potensi ancaman terhadap kesehatan dan keselamatan kerja tersebut ada yang “latent” ada pula yang “manifest.” Begitu pula proses kemunculannya ada yang berlangsung gradual ada pula yang munculspontan.

Dari sudut konfigurasi ketenaga-kerjaan tampilnya “kelompok pekerja profesional” sebagai elemen vital bagi kelangsungan dan kemajuan perusahaan, mendorong perlunya perhatian serius terhadap kelompok pekerja, baik demi kelangsungan perusahaan maupun demi peningkatan produktivitas.

Dalam industri modern, posisi pekerja profesional memang menjadi faktor penentu mati hidupnya perusahaan. Sementara mendidik pekerja menjadi profesional selain membutuhkan biaya tinggi juga waktu panjang. Karena itu demi menopang kehidupan danperkembangan perusahaan aspek kesehatan dan keselamatan kerja perlu perhatian serius agar kualitas para pekerja tidak mengalami degradasi.

Hal lain yang juga ikut mendorong perlunya perhatian serius terhadap kesehatan dan keselamatan kerja adalah menguatnya desakan akan penegakan hak-hak asasi manusia (HAM) sebagai suatu fenomena global.

Dalam perspektif penegakan HAM, adanya jaminan terhadap kesehatan dan keselamatan kerja di lingkungan perusahaan dipandang sebagai bagian integral dari penegakan hak-hak asasi manusia.

Dimensi Kesehatan dan Keselamatan Kerja

Di Indonesia, minimnya perhatian terhadap kesehatan dan keselamatan kerja kemungkinan besar disebabkan oleh ruang lingkup masalah tersebut yang amat luas, bersifat lintas sektor dan menyangkut berbagai aspek. Oleh karenanya pengelolaannya pun tentu bersifat lintas sektor dan membutuhkan koordinasi yang intens antar semua pihak terkait.

Sementara yang juga menjadi salah satu kelemahan serius di Indonesia adalah rendahnya kemampuan berkoordinasi, baik dalam perencanaan program maupun dalam pelaksanaan suatu kebijakan.

Dalam soal kesehatan dan keselamatan kerja, misalnya, yang dibutuhkan minimal koordinasi yang intens antara pihak yang terlibat dalam dunia kesehatan dan dunia ketenaga-kerjaan, baik pada lingkup operasional, penentu kebijakan, maupun dengan elemen yang terlibat dalam pengembangan ilmu dan teknologi.

Dengan kata lain, kesehatan dan keselamatan kerja dapat dilihat dari berbagai sisi, antara lain:

·Dari ruang lingkupnya K-3 dapat diartikan sebagai suatumasalah yang berkaitan dengan Dunia Kesehatan dan Dunia Kerja yang serius saat ini dan menarik perhatian masyarakat internasional.

·Sebagai disiplin ilmu merupakan ilmu kesehatan yang memberikan perhatian besar terhadap hubungan timbal balik antaraaspek kesehatan dan aspek kerja.

·Sementara dari aspek politik dan kebijakan publik dapat dicerminkan dengan berbagai peraturan dan kebijakan –baik global maupun nasional– yang bertujuan melindungi pekerja dan faktor yang dapat mengancam kesehatan dan keselamatannya dalam pekerjaan.

Ancaman dan Gangguan

Berdasarkan pengamatan, gangguan dan ancaman terhadap kesehatan dan keselamatan kerja di Indonesia disebabkan oleh berbagai faktor yang dalam keseharian sering luput dari perhatian. Berbagai faktor penyebab tersebut dapat dibagi atastiga kelompok, yakni:

a. Faktor Manusia, sebagai penyebabdominan (sekitar 80%) terganggunya kesehatan dan keselamatan kerja. Ini disebabkan manajemen sumber daya manusia dibanyak perusahaan yang tidak cermat memperhatikan kondisi spesifik individual yang berkaitan dengan kesehatan dan keselamatan kerja, seperti:

1.Usia, misalnya menempatkan pekerja yang terlalu tua atau terlalu muda sehingga tidak sesuai dengan bidang kerja yang ditangani.
2.Pengalaman, pendidikan, ketrampilan, misalnya menempatkan pekerja yang kurang terlatih untuk jenis pekerjaan tertentu, atau kompetensi tidak sesuai dengan bidang pekerjaan.
3.Kepribadian, yakni berkaitan dengan tingkat ketelitian, keseriusan atau perilakuceroboh dari pekerja.
4.Kesehatan fisik & psikis, antara lain karena kelelahan dan sebagainya.
5.Jam kerja yang tidak teratur dan berlebihan.

b. Faktor peralatandan bahan baku, yang tidak memenuhi standar kesehatan dan keselamatan, seperti:

1.Peralatan tidak teruji dan atau berkualitas rendah.
2.Peralatan tidak egronomik.
3.Adanya kandungan racun, kuman dan radiasi pada bahan baku, alat dan hasil produksi.

c. Faktor lingkungan yang tidak kondusif bagi keselamatan dan kesehatan kerjaseperti:

1.Kualitas pencahayaan, suhu dan kebisingan.
2.Gelombang elektromagnetik, microwave, radiasi, dan sebagainya.
3.Kontaminasi biologi (virus, kuman, jamur, bakteri, dan sebagainya).
4.Pengolahan limbah tidak baik.

Implementasi K-3

Sebagai upaya perlindungan pekerja, masalah “Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K-3)” kini menjadi persoalan global, dan setiap negara tentu harus menyikapinya dengan langkah konkrit dan terencana. Pada lingkup internasional, misalnya, PBB melalui ILO (International Labour Organisation) telah menetapkan ketentuan tentang “Accupational Safety and Health” yang patut dilaksanakan oleh semua negara anggota.

Fokus dari ketentuan tersebut adalah pencegahan efek samping dari penggunaan teknologi dalam industri –dari paling sederhana hingga tercanggih– yang mengganggu tata kehidupan dan lingkungan.

Sebagai anggota PBB dan ILO, Indonesia tampak berusaha memenuhi ketentuan tersebut. Hal ini setidaknya tercermin pada serangkaian kebijakan yang ditempuh pemerintah baik menyangkut institusionalisasi, legislasi maupun operasional.

Dalam aspek institusional, misalnya, pada tahun 1957 peme-rintahmembentuk LembagaKesehatan Buruh yang kemudian diu-bah menjadi Lembaga Kesehatan dan Keselamatan Buruh ditahun 1965. Untuk lebih mengefektifkan fungsi kesehatan dan kesela-matan kerja, organisasi Departemen Kesehatan kemudian dilengkapi dengan Dinas Higiene Perusahaan/Sanitasi Umum dan Dinas Kesehatan Tenaga Kerja Departemen Kesehatan. Sementara De-partemen Tenaga Kerja membentuk Lembaga Higiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja (Hiperkes).

Untuk lebih mengintensifkan fungsinya, kedua institusi tersebut kemudian dikembangkan menjadi Sub Direktorat Kesehat-an Kerja Departemen Kesehatan (kemudian menjadiBadan Pusat Kesehatan Kerja) dan Pusat Hiperkes Departemen Tenaga Kerja & Transmigrasi. Sedang dalam aspek legislasi, perhatian terhadap kesehatan dan keselamatan kerja diwujudkan dengan terbitnya sejumlah undang-undang dan peraturan, antara lain:

a.Undang-undang Kerja dan Undang-undang Kesehatan Kerja tahun 1957.
b.Undang-undang No. 1 tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja.
c.Undang-undang No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan.
d.Undang-undang No. 22 tahun 1993 tentang Penyakit yang timbul karena hubungan kerja.
e.Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No.Per 02/Men/1980 Pemeriksaan Kesehatan Tenaga Kerja dalam Menyelenggarakan Keselamatan Kerja.

Implikasi dari ketentuan perundang-undangan tersebut, maka aspek kesehatan dan keselamatan kerja kini ikut dijadikan bahan pertimbangan formal dalam pemberian usaha, sementara sejumlah perusahaan berskala besar secara khusus telah membentuk unit kerja tersendiri untuk menangani masalah K-3, baik dengan bentuk departemen, Divisi atau Bagian sesuai dengan tingkat resiko yang dihadapi dalam pekerjaan.

Kendala

Lambannya penerapan ketentuan kesehatan dan keselamatan kerja di Indonesia tampak selain disebabkan oleh rendahnya kesadaran para pelaku usaha akan hal ini, juga oleh beragam faktor lain, dan karena itu perlu selusi yang bersifat menyeluruh.

Hasil satu survai menyebutkan bahwa hampir 37,2 5 perusahaan yang terdapat di Indonesia tidak menyediakan biaya kesehatan dalam rencana pembiayaan perusahaan meski hampir 57% pihak manajemen perusahaan menengah mengaku paham akan pentingnya kesehatan dan keselamatan kerja. Sedang sebagian besar perusahaan skala kecil umumnya tidak menerapkan –bahkan tidak mengenal– prinsip kesehatan dan keselamatan kerja. Lebih menyedihkan lagi pada sektor informal hingga saat ini belum ada upaya pemantauan terhadap implementasiK-3 dalam kegiatan usahanya.

Kondisi yang menyedihkan diatas memang menjadi keniscayaan dari sistem hubungan kerja yang berlaku selama ini yang tak memungkinkan penerapan ketentuan K-3 secara intens. Sistem hubungan Kerja borongan, Kerja kontrak sementara, Kerja Harian Lepas dan sejenisnya memang tidak mendukung terlaksananya K-3.

Sesungguhnya semua itu terjadi karena dukungan politik dari pemerintah dalam perlindungan pekerja jauh dari memadai. Dalam berbagai kebijakan mengenai ketenaga-kerjaan dan dunia usaha, misalnya, terlihat dengan jelas belum semua aspek prinsipil kesehatan dan keselamatan kerja terakomodir secara maksimal. Demikian pula ketentuan audit kesehatan dan keselamatan kerja sering hanya bersifat formalitas belaka.

Namun diluar sebab-sebab diatas, tersendatnya penerapan K-3di Indonesia juga disebabkan oleh belum berkembangnya disiplin ilmu kedokteran okupasi sehinga jumlah dokter okupasi di Indonesia masih sangat minim begitu pula klinik medik okupasimasih sangat terbatas.

Silahkan klik gambar-gambar dibawah ini untuk mendapatkan informasi/manfaat lainnya



Unduh Pedoman Pembelajaran pada Semester Genap TA 2020/2021 di sini.

Unduh FAQ Panduan Pembelajaran Semester Genap 2020-2021 di sini.

Unduh Salinan SKB PTM di sini.

MODUL PEMBELAJARAN SMA TAHUN 2020/2021

Kemdikbud melalui Direktorat SMA telah menyusun Modul Pembelajaran SMA tahun 2020 semua mata pelajaran untuk siswa SMA Kelas X, XI dan XII yang dapat digunakan sebagai salah satu bahan belajar dari rumah. Silakan Anda unduh pada link di bawah ini:
Modul Pembelajaran SMA Lengkap
PPKN Unduh disini
Bhs Indonesia Unduh disini
Matematika Unduh disini
Sejarah Indonesia Unduh disini
Bhs Inggris Unduh disini
Seni Budaya Unduh disini
Penjasorkes Unduh disini
PKWU Unduh disini
Biologi Unduh disini
Fisika Unduh disini
Kimia Unduh disini
Sejarah Peminatan Unduh disini
Sosiologi Unduh disini
Geografi Unduh disini
Ekonomi Unduh disini

Pelayanan dan penjelasan informasi pelaksanaan Seleksi CPNS Kementerian Sekretariat Negara TA 2019 melalui:

a. menu Helpdesk pada https://sscasn.bkn.go.id;
b. email panitia seleksi pada rekrutmen@setneg.go.id.
c. telepon (pukul 09.00 s.d. 15.00 WIB)
– untuk Formasi Jabatan Kemensetneg di (021) 3848265
– untuk Formasi Jabatan Sekretariat Kabinet di (021) 3843457



Situs Terkait




Pedoman Teknis Pelaksanaan Pemberian Imunisasi COVID-19

Pedoman Teknis Pelaksanaan Pemberian Imunisasi COVID-19
Kontroversi.or.id – Direktur Jenderal P2P Kementerian Kesehatan R.I memberikan paparan terkait “Pedoman Teknis Pelaksanaan Pemberian Imunisasi COVID-19”.Pedoman ini terdiri dari :• BAB 1 PENDAHULUAN
• BAB 2 EPIDEMIOLOGI CORONA VIRUS (COVID-19)
• BAB 3 PERSIAPAN PELAKSANAAN PELAYANAN
IMUNISASI COVID-19
• BAB 4 PELAKSANAAN PELAYANAN IMUNISASI COVID19
• BAB 5 SURVEILANS KIPI
• BAB 6 MONITORING DAN EVALUASI

Kegiatan Operasional Vaksinasi Covid-19

  •  Survei : Readiness dan Acceptence Study (sedang berlangsung)
  •  Persiapan dan Koordinasi
  •  Penetapan Permenkes Vaksinasi Covid-19
  •  Penyusunan Pedoman teknis
  •  Advokasi Sosialisasi Mobilisasi
  •  Peningkatan Kapasitas SDM, Sarana (logistic)
  •  Peningkatan Jejaring Pelayanan
  •  Sistim Informasi Manajemen
  •  Penyusunan Mikroplanning
  •  PelaksanaanVaksinasi
  •  Supervisi, Bimbingan teknis, monitoring
  •  Evaluasi Rapid ConvinienceAssesment/Survey cakupan, Post introduction Evaluation, Review Pelaksanaan

Pelaksanaan pemberian vaksinasi

1. Dosis administrasi : diberikan 2 (dua) dosis/orang dengan jarak minimal 14 hari, sehingga dapat membentuk kekebalan

2. Pemberi layanan imunisasi COVID-19 adalah dokter, perawat dan bidan di fasilitas pelayanan kesehatan baik pemerintah, swasta maupun akademi/institusi Pendidikan, Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP), TNI dan Polri dalam jejaring Public Private Mix (PPM)

3. Teknis dan tempat pelaksanaan pemberian imunisasi, berdasarkan kajian ITAGI:

a. Kelompok usia produktif berusia 18 – 59 tahun, dilaksanakan di fasilitas pelayanan kesehatan pemerintah baik puskesmas, posbindu maupun RSUD/RSUP, kerjasama dengan klinik, klinik kantor/perusahaan, rumah sakit swasta, bidan praktek swasta dan lain – lain, termasuk pos – pos pelayanan imunisasi di tempat – tempat strategis

b. Kelompok penduduk dengan kormorbid berusia 18 – 59 tahun yang masih aktif/produktif sebaiknya dilaksanakan di fasilitas pelayanan kesehatan pemerintah (puskesmas dan Rumah Sakit), klinik dan rumah sakit swasta.

Teknis pelaksanaan vaksinasi COVID-19

Memerlukan waktu 15 menit/orang

  1. Pendaftaran
  2. Pengukuran (tekanan darah, rapid test kolestrol, gula darah, dll)
  3. Edukasi tentang Imunisasi COVID-19
  4. Anamnesa (siapkan list daftar pertanyaan)
  5. Penyuntikan
  6. Informasi jadwal imunisasi selanjutnya

Catatan :

  • Pelayanan posbindu 5 jam/hari
  • Waktu pelayanan 15 menit
  • 15 menit x 20 orang sehingga diperlukan 300 menit atau 5 jam.
” alt=”” />
Teknis pelaksanaan vaksinasi COVID-19

PELAYANAN IMUNISASI COVID-19 DI POS IMUNISASI (Posyandu, Posbindu, Sekolah dan Pos pos yang ditentukan)

  1. Ruang/tenda/tempat yang cukup besar, sirkulasi udara yang baik. Bila ada kipas angin, letakkan di belakang petugas kesehatan agar arah aliran udara kipas angin mengalir dari tenaga kesehatan ke sasaran imunisasi;
  2. Bersihkan ruang/tempat pelayanan imunisasi sebelum dan sesudah pelayanan dengan cairan disinfektan;
  3. Fasilitas mencuci tangan pakaisabun dan air mengalir atau hand sanitizer;
  4. Atur meja pelayanan antar petugas agar menjaga jarak aman 1 – 2 meter.
  5. Ruang/tempat pelayanan imunisasi hanya untuk melayani orang sehat;
  6. Jika memungkinkan sediakan jalan masuk dan keluar yang terpisah. Sasaran dan pengantar keluar dan masuk bergantian;
  7. Tempat/ruang tunggu sebelum dan sesudah imunisasi terpisah. Tempat duduk dengan jarak aman antar tempat duduk 1 – 2 meter. Sesudah imunisasi sasaran menunggu selama 30 menit.
” alt=”” />
Contoh Pengaturan Ruang/ Tempat Pelayanan Imunisasi

Dalam pedomen teknis ini dipaparkan pula TIMELINE PENGADAAN, DISTRIBUSI DAN PELAYANAN IMUNISASI COVID-19, serta hasil survei yang dilakukan Kemenkes.

  1. Diperlukan pelaksanaan survei persepsi masyarakat untuk vaksin COVID-19 (mempertimbangkan vaccine hesistancy di Indonesia)
  2. Country readiness assesment dalam rangka menilai kesiapan pelaksanaan pemberian imunisasi COVID-19 yang ditinjau dari berbagai aspek mulai dari tahap mikroplanning, pelaksanaan dan
    monev
  3. Pembentukan kelompok kerja tingkat nasional, provinsi/kab/kota dalam rangka koordinasi, harmonisasi pelaksanaan imunisasi COVID-19
  4. Pelaksanaan Cost Effectivess Analysis (CEA) imunisasi COVID-19, apabila imunisasi COVID-19 akan masuk sebagai Program Imunisasi Nasional
  5. Antispasi Komunikasi Risiko pelaksanaan baik isu halal-haram, kelompok antivaksin
  6. Penguatan SDM melalui pelatihan dengan BPSDM dan Sistim Informasi kolaborasi dengan Pusdatin

Kesimpulan

  •  Grand Design Operasional Imunisasi disusun berdasarkan ketersediaan vaksin yang faktanya sampai saat ini cukup dinamis.
  •  Logistik coldchain diperkirakan memadai melihat ketersediaan vaksin yang bertahap, demikian pula jumlah dan rasioVaksinator
  •  Pelaksanaan tetap mempertimbangkan pelaksanaan imunisasi rutin yang saat ini cakupannya masih rendah.
  •  Penetapan Permenkes tentang PelaksanaanVaksinasi COVID-19, jabaran teknis dari Perpres.
  •  Perlu beberapa skema : imunisasi sebagai program, imunisasi pilihan skema sektor swasta, maupun sebagai bagian dari asuransi kesehatan
  •  Pencanangan imunisasi COVID-19 oleh Kepala Negara dalam rangka
  • mobilisasi komitmen pemerintah daerah

There is no ads to display, Please add some

Related posts

Kenapa Harus Ada Inovasi Keuangan Digital ?

admin

Makna di Balik Logo HUT RI ke-73

Penulis Kontroversi

Manfaat Secondment, Knowledge Management dan Sinergi di Kementerian Keuangan

Penulis Kontroversi

Leave a Comment