Image default
Berita Utama Peristiwa

Peta Kemiskinan Indonesia

Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suhariyanto mengungkapkan bahwa ANGKA kemiskinan hingga September 2018 menurun menjadi 9,66%.

Sebelumnya persentase kemiskinan dalam data Maret 2018 mencapai 9,82%, SEMENTARA pada September 2017 angka 10,12%.

Dalam lima tahun terakhir, kinerja penanggulangan kemiskinan nasional mengalami pasang surut dengan kemiskinan perdesaan masih mendominasi. Jumlah penduduk miskin perdesaan hampir dua kali lipat daripada jumlah penduduk miskin perkotaan.

Jumlah penduduk miskin perdesaan turun -0,71 persen per tahun sepanjang 2011-2016. Lebih cepat daripada penurunan penduduk miskin perkotaan yang hanya -0,66 persen per tahun.

Terdapat tendensi kebijakan ekonomi era Presiden Joko Widodo lebih ramah terhadap penduduk miskin perkotaan dibandingkan penduduk miskin perdesaan. Pada Maret 2015, penduduk miskin perdesaan meningkat 569 ribu jiwa, di perkotaan meningkat 296 ribu jiwa.

Pada Maret 2016, penduduk miskin perdesaan hanya turun 275 ribu jiwa, penduduk miskin perkotaan turun 313 ribu jiwa.

Kebijakan ekonomi Presiden Joko Widodo yang bias ke penduduk miskin perkotaan dikonfirmasi lebih lanjut oleh tren indeks kedalaman dan keparahan kemiskinan. Pasca-Maret 2015, indeks kedalaman dan keparahan kemiskinan perkotaan menunjukkan tren menurun.

Pada saat yang sama, indeks kedalaman dan keparahan kemiskinan perdesaan justru menunjukkan tren meningkat signifikan. Disagregasi analisis kemiskinan ke tingkat daerah memberikan kita kondisi dan tantangan kemiskinan jauh berbeda dari analisis nasional.

Kantong kemiskinan tak banyak berubah. Penduduk miskin terkonsentrasi di tiga provinsi, yaitu Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat.

Dengan luas hanya enam persen dari total wilayah Indonesia, ketiga provinsi ini menjadi rumah bagi hampir setengah dari total penduduk miskin nasional. Setengah penduduk miskin lainnya tersebar di wilayah yang sangat luas di luar Jawa.

Analisis lebih jauh terhadap kantong kemiskinan nasional menunjukkan keterkaitan antara aglomerasi, pertumbuhan kawasan metropolitan, dan kemiskinan.

Kawasan metropolitan, selain menciptakan kemiskinan kota, juga menciptakan kantong kemiskinan di wilayah sekitarnya, seperti Kab Bogor dan Kab Bekasi di Jabodetabek, Kab Bandung dan Kab Bandung Barat di Bandung Raya.

Kab Grobogan di Kedungsepur (Kendal, Ungaran, Semarang, Purwodadi), Kab Klaten di Solo Raya, Kab Bangkalan, Kab Lamongan, dan Kab Gresik di Gerbangkertasusila (Gresik, Bangkalan, Mojokerto, Surabaya, Sidoarjo, Lamongan).

Sementara itu, insiden kemiskinan yang tinggi terjadi di luar Jawa. Kabupaten-kota dengan persentase penduduk miskin sangat tinggi (head-count index), 20-45 persen, ditemui di Papua, Papua Barat, Maluku, Nusa Tenggara Timur.

Juga ditemukan di beberapa daerah di JawaTengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Aceh, Sumatra Utara, Riau, Bengkulu, dan Nusa Tenggara Barat. Terdapat pola, daerah dengan tingkat kemiskinan (head-count index, P0) tinggi cenderung memiliki indeks kedalaman kemiskinan (poverty-gap index, P1) yang juga tinggi.

Dan daerah dengan indeks kedalaman kemiskinan tinggi cenderung memiliki indeks keparahan kemiskinan (poverty-severity index, P2) yang juga tinggi. Tidak hanya di Papua dan Papua Barat, pola ini ditemui pula di daerah lain, seperti Maluku dan Nusa Tenggara Timur.

Pola di daerah perkotaan juga menunjukkan arah sama. Dengan demikian, agenda penanggulangan kemiskinan memiliki dua dimensi spasial, yaitu kantong kemiskinan yang sangat terkonsentrasi di Jawa dan insiden kemiskinan yang sangat tinggi di luar Jawa.

Dari fakta ini, kami dalam laporan Peta Kemiskinan Indonesia (2017) menggagas indikator baru, yaitu kepadatan penduduk miskin menurut wilayah. Terlihat daerah dengan kepadatan penduduk miskin yang tinggi, di atas 250 jiwa per km2, didominasi daerah perkotaan di Jawa.

Daerah dengan kepadatan penduduk miskin tertinggi, 800-1.250 jiwa per km2, yaitu Kota Kupang, Kota Surakarta, Kota Yogyakarta, Kota Cirebon, dan Kota Cimahi.

Temuan ini menegaskan, meski kota pada umumnya adalah pusat kegiatan ekonomi dan karenanya memiliki tingkat kemiskinan rendah, mereka adalah kantong kemiskinan yang sangat masif. Kesenjangan dalam tingkat kesejahteraan antardaerah amat lebar.

Pada 2015, kantong kemiskinan nasional terbesar, Kab Bogor memiliki penduduk miskin 375 kali lebih banyak daripada Kota Sawahlunto, daerah dengan jumlah penduduk miskin terkecil. Dilihat dari intensitas lokasi, penduduk miskin sangat terkonsentrasi di daerah perkotaan.

Kota Kupang memiliki kepadatan penduduk miskin 15.164 kali lebih tinggi daripada Kab Malinau. Tingkat kemiskinan di Kab Deiyai 27 kali lebih tinggi daripada insiden kemiskinan di Kota Tangerang Selatan.

Indeks kedalaman kemiskinan Kabupaten Intan Jaya 94 kali lebih tinggi daripada Kab Badung. Sedangkan indeks keparahan kemiskinan Kab Paniai 363 kali lebih tinggi daripada Kota Tarakan.

Mengetahui kondisi dan karakteristik kemiskinan, penting untuk desain penanggulangan kemiskinan. Namun, menilai kinerja penanggulangan kemiskinan lebih signifikan untuk mengakselerasi penanggulangan kemiskinan.

Pada periode 2010-2014, daerah paling progresif dalam penurunan jumlah penduduk miskin didominasi daerah Luar Jawa, yaitu Kepulauan Bangka Belitung (Kab Bangka Barat, Kab Bangka Selatan, Kab Belitung Timur, Kab Bangka Tengah, Kota Pangkal Pinang) dan Sumatra Barat (Kota Solok, Kota Payakumbuh, Kab Solok Selatan, Kab Pasaman).

Pada periode sama, tercatat sekitar 12 persen daerah, 59 dari 497 daerah, gagal menurunkan jumlah penduduk miskin. Daerah dengan kenaikan jumlah penduduk miskin tertinggi, didominasi daerah perdesaan di luar Jawa dan daerah perkotaan di Jawa.

Khususnya di Jabodetabek, yaitu Kota Tangerang Selatan, Kota Jakarta Utara, Kota Jakarta Pusat, dan Kota Jakarta Timur.

Secara umum, daerah dengan kinerja penurunan jumlah penduduk miskin yang tinggi, juga mencatat kinerja yang tinggi dalam penurunan persentase penduduk miskin (head count index – P0), dan sebaliknya.

Menarik untuk dicatat, daerah perkotaan dengan peningkatan P0 paling banyak ditemui di Jabodetabek, yaitu Kota Jakarta Utara, Kota Tangerang Selatan, dan Kota Jakarta Timur.

Daerah paling progresif dalam penurunan indeks kedalaman kemiskinan (poverty gap index – P1) periode 2010-2014 didominasi daerah di Luar Jawa, yaitu kawasan Timur Indonesia seperti Maluku Utara (Kab Pulai Morotai, Kab Halmahera), Maluku (Kab Buru Selatan, Kota Tual, Kota Ambon), dan Papua (Kab Supiori, Kab Puncak Jaya).

Pada periode yang sama, tercatat sekitar 14 persen daerah, 69 dari 497 daerah, gagal menurunkan P1. Menarik untuk dicatat, daerah dengan peningkatan P1 tertinggi ditemui di DKI Jakarta, yaitu Kab Kepulauan Seribu, mencapai 18,0 persen per tahun (CAGR).

Secara umum, daerah dengan penurunan P1 yang tinggi, juga mencatat kinerja tinggi dalam penurunan indeks keparahan kemiskinan (poverty severity index – P2), dan sebaliknya.

Daerah terbaik dalam penurunan P2, sekaligus terbaik dalam penurunan P1, kembali diraih Kab Pulau Morotai, mencapai 49,4 persen per tahun (CAGR). Pada periode sama, tercatat sekitar 21 persen daerah, 106 dari 497 daerah, gagal menurunkan P2.

Daerah dengan peningkatan P2 tertinggi dan juga daerah dengan peningkatan P1 tertinggi, kembali ditemui di Kab Kepulauan Seribu dan Kab Deiyai.

Dalam laporan Peta Kemiskinan Indonesia (2017), kami menguantifikasi kinerja penanggulangan kemiskinan daerah di semua ukuran ini dengan membangun “Indeks Kinerja Penanggulangan Kemiskinan Daerah”.

Dengan Indeks Kinerja Penanggulangan Kemiskinan Daerah 2010-2014 ini, secara menarik terlihat hanya sedikit daerah yang termasuk kategori kinerja tinggi dalam penanggulangan kemiskinan (nilai indeks di atas 60), hanya sekitar 27 persen atau 136 dari 497 daerah.

Daerah dengan Indeks Kinerja Penanggulangan Kemiskinan Daerah tertinggi pada periode 2010-2014 didominasi daerah di Sumatra Barat (Kota Solok, Kab Solok Selatan, Kota Payakumbuh, Kota Padang, Kab Lima Puluh Koto, Kab Dharmasraya), Kepulauan Bangka Belitung (Kab Bangka Barat, Kab Bangka Selatan, Kab Bangka Tengah, Kota Pangkal Pinang), serta Maluku (Kab Buru Selatan, Kota Ambon, Kota Tual).

Sedangkan daerah dengan Indeks Kinerja Penanggulangan Kemiskinan Daerah terendah periode 2010-2014 banyak ditemui di Bengkulu (Kab Bengkulu Tengah, Kota Bengkulu, Kab Rejang Lebong), Gorontalo (Kab Gorontalo, Kota Gorontalo, Kab Boalemo), Papua Barat (Kota Sorong, Kab Tambrauw), Jambi (Kab Merangin, Kab Tanjung Jabung Timur), dan DKI Jakarta (Kab Kepulauan Seribu, Kota Jakarta Utara, Kota Jakarta Timur).

Secara umum terlihat daerah dengan kinerja penanggulangan kemiskinan tertinggi dominan di luar Jawa. Namun pada saat yang sama, daerah dengan kinerja penanggulangan kemiskinan terendah juga dominan berlokasi di luar Jawa, dengan pengecualian DKI Jakarta.

Daerah di DKI Jakarta sebagai pusat kegiatan ekonomi nasional dan daerah dengan tingkat pendapatan per kapita tertinggi dan tingkat kemiskinan terendah, ternyata memiliki kinerja penanggulangan kemiskinan yang rendah.

Hasil analisis secara keseluruhan dari Indeks Kinerja Penanggulangan Kemiskinan Daerah 2010-2014, menunjukkan sebagian besar daerah belum memiliki kinerja memuaskan dalam penanggulangan kemiskinan.

Dengan ambang batas nilai indeks 70, hanya ada enam dari 497 daerah, atau sekitar satu persen, yang memiliki kinerja memuaskan dalam penanggulangan kemiskinan pada periode 2010-2014. Ini sangat mengkhawatirkan dan secara implisit menunjukkan lemahnya upaya menanggulangi kemiskinan di tingkat kabupaten-kota.

Ekonomi Terpukul Corona, Penduduk Miskin RI Bertambah Jadi 26,43 Juta

Jumlah penduduk miskin pada Maret 2020 bertambah 1,63 juta orang dibandingkan September 2019 seiring dampak pandemi corona yang memukul perekonomian.

Badan Pusat Statistik mencatat jumlah penduduk miskin pada Maret 2020 mencapai 26,42 juta orang, bertambah 1,63 juta orang dibandingkan September 2019 atau 1,28 juta orang dibandingkan Maret 2019. Kenaikan penduduk miskin ini terjadi lantaran perekonomian terpukul akibat pandemi virus corona.

“Kenaikan kemiskinan terjadi karena pendapatan seluruh lapisan masyarakat mengalami penurunan, dan dampaknya paling dalam kepada masyarakat menengah bawah,” ujar Kepala BPS Suhariyanto dalam konferensi pers, Rabu (15/7).

Suhariyanto membantah kenaikan kemiskinan terjadi akibat keterlambatan pencairan bantuan sosial. Berdasarkan data APBN Kita edisi April, pencairan bansos hingga akhir Maret 2020 mencapai 47,17 triliun, naik 27,61 % dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

Realisasi pencairan bansos pun terus meningkat hingga bulan lalu, seperti tergambar dalam databoks di bawah ini.

Secara persentase, data BPS menunjukkan penduduk miskin pada Maret 2020 mencapai 9,78 % dari total penduduk Indonesia. Angka ini meningkat 0,56 % dibandingkan September 2019 atau 0,37% dibandingkan Maret 2019.

Kenikan penduduk miskin terutama terjadi di daerah perkotaan. Jumlahnya meningkat 1,3 juta orang dibandingkan September 2019 menjadi 11,16 juta orang. Secara persentase, juga terjadi kenaikan dari 6,56% menjadi 7,38% pada periode yang sama.

Sementara penduduk miskin pedesaan bertambah 333,9 ribu orang dibandingkan September 2019 menjadi 15,26 juta orang. Secara persentase terjadi kenaikan dari 12,6% menjadi 12,82%.

Suhariyanto menjelaskan, garis kemiskinan pada Maret 2020 tercatat sebesar Rp 454.652 per kapita per bulan. Pembentukan garis kemiskinan ini terdiri dari garis kemiskinan makanan sebesar Rp 335.793 atau sebesar 73,86 persen dan garis kemiskinan bukan makanan sebesar Rp 118.859 atau 26,14 persen

Adapun pada Maret 2020, secara rata-rata rumah tangga miskin di Indonesia memiliki 4,66 orang anggota rumah tangga. Dengan demikian, besar Garis Kemiskinan per rumah tangga miskin secara rata-rata adalah sebesar Rp 2.118.678 per umah tangga miskin/bulan.

Data kemiskinan hingga Maret 2020 ini belum memberikan gambaran dampak pandemi corona seutuhnya. Ekonomi pada Januari-Maret 2020 masih tercatat tumbuh 2,97% dibanding periode yang sama tahun lalu, meski jauh dari prediksi pemerintah sebelumnya yang tumbuh 4,2%. Adapun pemerintah memperkirakan ekonomi pada kuartal II negatif hingga 3,8%.

Menteri Keuangan Sri Mulyani sebelumnya menyebut pandemi Covid telah menimbulkan lonjakan kemiskinan terutama pada Maret hingga Mei 2020. Ia bahkan memperkirakan ada tambahan 1,1 juta orang miskin akibat pandemi corona pada kuartal II 2020. Angka tersebut berasal dari skenario berat pemerintah.

Dalam skenario yang lebih berat, ia menyatakan bakal ada tambahan 3,78 juta orang miskin di Indonesia. Menurut Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini, Covid-19 memang telah menyebabkan banyak pemutusan hubungan kerja di berbagai wilayah. Dalam skenario berat, pemerintah mengasumsikan adanya kenaikan 2,9 juta orang pengangguran baru. Dalam skenario lebih berat bisa sampai 5,2 juta.

Kemiskinan dan Sejumlah Masalah Ekonomi Indonesia Berhasil Ditekan

Satu prestasi ekonomi Indonesia yang dapat disebut fenomenal adalah tingkat kemiskinan penduduk yang berhasil terus ditekan Pemerintah Indonesia pada level satu digit, yang mencatat rekor posisi terendah baru sepanjang sejarah, yakni pada tingkat 9,22 persen per September 2019, atau setara dengan 24,79 juta orang, menurut rilis BPS belum lama ini.

Sejak tahun 2014 tingkat kemiskinan di Indonesia terus mengalami penurunan. Pada September 2014 tingkat kemiskinan di Indonesia mencapai 10,26% atau jumlah penduduk miskin di Indonesia pada waktu itu mencapai 28,59 juta. Artinya, angka kemiskinan saat ini jika dibanding periode itu turun 1,04 persen poin, atau sebanyak 3,8 juta orang telah keluar dari garis kemiskinan dalam 5 tahun terakhir, atau juga 0,88 juta orang terhitung sejak September 2018.

Bukan hanya penurunan tingkat kemiskinan, tingkat ketimpangan pendapatan pun dilaporkan BPS semakin membaik dalam pemerintahan dewasa ini. Gini ratio membaik di posisi 0,38, lebih kecil dari posisi Maret 2019 dan September 2018 yang masing-masing sebesar 0,382 dan 0,384.

Menurut BPS berdasarkan ukuran ketimpangan Bank Dunia, distribusi pengeluaran pada kelompok 40 persen terbawah adalah sebesar 17,70 persen. Hal ini berarti pengeluaran penduduk pada September 2019 berada pada kategori tingkat “ketimpangan rendah”.

Prestasi pemerintah lainnya di bawah Presiden Jokowi yang patut dicatat adalah keberhasilan menekan rendah tingkat inflasi terus stabil di kisaran 3% YoY. Bahkan, data terakhir BPS menyebutkan bahwa tingkat inflasi di sepanjang tahun 2019 adalah 2,72%, merupakan rekor terendah dalam 20 tahun terakhir. Sebagaimana diketahui, di akhir 2014 atau 2 bulan setelah Jokowi dilantik sebagai Presiden ke-7 RI, inflasi tercatat masih sebesar 8,36% YoY.

Ilustrasi berikut menunjukkan begitu Jokowi memegang kendali pemerintahan, inflasi langsung dapat ditekan ke level 3,35%. Dapat dikatakan dalam dua dekade terakhir, inflasi 2019 ini, pada angka 2,72%, merupakan yang terendah.

Masalah ekonomi selanjutnya adalah tingkat pengangguran. Sisi ini pun terus mengalami perkembangan kemajuan di Indonesia. Menurut data BPS terkini (November 2019), Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) mengalami penurunan sejak tahun 2015 sampai dengan tahun 2019. Pada Agustus 2019, TPT turun menjadi 5,28% dibandingkan tahun sebelumnya yang sebesar 5,34%. Artinya terdapat 5 orang penganggur dari 100 orang angkatan kerja di Indonesia.

Memang jika dilihat secara secara jumlah, terjadi kenaikan angka pengangguran sebanyak 50 ribu orang per Agustus 2019 menjadi 7,05 juta orang dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya, yaitu 7 juta orang. Namun karena jumlah angkatan kerja meningkat, yakni dari 131,01 juta orang menjadi 133,56 juta orang, maka jumlah orang yang bekerja pun bertambah dari 124,01 juta menjadi 126,51 juta orang, dan secara rasio tetap terjadi penurunan tingkat pengangguran.

Ada isyu yang kerap dimunculkan bahwa sektor manufaktur yang padat karya semakin lemah pertumbuhannya di negeri kita. Pada kuartal kedua 2019, pertumbuhan manufaktur hanya 3,54 persen, sehingga disinyalir telah menambah jumlah pengangguran.

Isyu pelambatan pertumbuhan industri ini sebenarnya adalah masalah global dewasa ini, bukan hanya di Indonesia. Negara-negara industri seperti Amerika, Zona Eropa, dan China pun mengalami pelambatan ini. Untuk ini, pihak pemerintah tetap berupaya melakukan penerobosan melalui pemetaan penerapan industri 4.0, dengan lima sektor manufaktur yang akan menjadi andalan pada tahap awalnya, yaitu industri makanan dan minuman, tekstil dan pakaian, otomotif, elektronika, serta kimia.

Kelima sektor tersebut dipilih karena dinilai berkontribusi besar terhadap perekonomian nasional, di antaranya menyumbang hingga 60% penyerapan tenaga kerja. Serta secara bersamaan telah berkontribusi 60% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) industri pengolahan, dan 65% terhadap ekspor.

Penyakit dan Trade-Off?

Tingkat kemiskinan, ketimpangan, pengangguran dan inflasi dapat dikatakan sebagai empat masalah utama atau “penyakit” dalam ekonomi makro. Masalah-masalah lainnya adalah lambatnya pertumbuhan ekonomi, yang kemudian bila dikaitkan dengan siklus ekonomi memunculkan isyu lain: stagnasi sampai resesi.

Untuk Indonesia, pertumbuhan ekonominya telah diakui dunia sebagai salah satu yang tercepat atau tertinggi. Di antara negara anggota G-20, yang biasa disebut sebagai “the major economies”, Indonesia berada di peringkat kedua tertinggi pertumbuhan ekonominya setelah China. Itu melampaui pertumbuhan di kelompok negara-negara maju (developed countries) seperti Amerika Serikat, Australia, dan Korea Selatan.

Dengan demikian, pertumbuhan ekonomi bukan merupakan isyu besar dalam manajemen ekonomi makro Indonesia. Bahkan, seyogyanya dapat disebut sebagai prestasi. Mengapa? Karena di tengah tekanan pelambatan ekonomi global saat ini, ketika berbagai lembaga internasional berprediksi bahwa pertumbuhan ekonomi dunia akan terus melambat, Indonesia malah berhasil mempertahankan pertumbuhan tingginya dengan stabil, di atas 5% secara konsisten. Pertumbuhan ekonomi kuartal tiga 2019 (yoy) tercatat sebesar 5,02%. Sementara, secara rata-rata sepanjang 2000-2019 pertumbuhan ekonomi Indonesia tercatat 5,27%.

GDP Annual Growth Rate Indonesia: 2014 – Q3 2019

Dalam banyak literatur teori ekonomi, disebutkan untuk memungkinkan terjadinya pemerataan distribusi kue ekonomi atau pengurangan ketimpangan, perlu kebijakan yang mendorong redistribusi pendapatan dengan jalan menurunkan tingkat pertumbuhan. Dengan perkataan lain, kerap disebut adanya “trade-off” antara pertumbuhan ekonomi dengan pemerataan. Sepertinya sulit untuk mempertahankan keduanya, salah satunya perlu dikorbankan. Apakah pertumbuhan ekonomi atau pemerataan, tergantung yang mana pilihan kebijakan ekonomi pemerintah saat itu.

Menariknya, dan juga membanggakannya, untuk Indonesia teori trade-off ini nampaknya tidak relevan. Satu per satu masalah ekonomi bisa diatasi pemerintah dengan team teknokrat ekonominya. Ekonomi tetap bertumbuh pada fase kecepatan yang masuk jajajaran atas dunia, di saat yang sama masalah kesenjangan distribusi atau ketimpangan ekonomi serta pengangguran dapat ditekan bersama dengan laju inflasi. Bahkan tingkat kemiskinan sekarang konsisten berada di level terendah sepanjang sejarah NKRI berdiri.

Pencapaian demikian sangat layak mendapat apresiasi karena itu buah dari kerja keras tim teknokrat ekonomi Indonesia. Pimpinan BPS sendiri, Suhariyanto, dalam salah satu penyampaian rilis angka-angka penurunan kemiskinan dan ketimpangan menyebutkan: “Ini ukuran jangka panjang untuk menurunkan dan butuh effort luar biasa. Tapi kita lihat disini progress-nya luar biasa”.

Sementara itu di tempat lain, satu kajian akademis tentang tingkat kesenjangan Indonesia pernah dirilis beberapa waktu lalu dari satu team di Melbourne University. Judulnya cukup menarik perhatian: “Is higher inequality the new normal for Indonesia?” (Indonesiaatmelbourne, 27/11/18). Diuraikan, melihat tren empiris periode 1976-2018, dapat dibuat garis actual and hypothetical gini ratio. Lalu kesimpulannya, nampaknya kita harus bersiap untuk satu realita bahwa tingkat Gini ratio di 0,4 atau lebih besar adalah “new normal” bagi Indonesia.

Dalam hal ini, penulis jelas tidak setuju atas kajian akademis di atas. Fakta data telah menunjukkan bahwa sejak Jokowi menjadi presiden, ketika rasio gini bertengger di posisi 0,414, maka rasio ini terus turun dari periode ke periode, membentuk garis downtrend, dan terakhir di posisi 0,38 itu. Artinya, dalam 5 tahunan terakhir ini telah terdapat tren penurunan yang cukup berarti pada tingkat ketimpangan ekonomi. Untuk jangka menengah ke depan, gini ratio lebih mungkin, menurut penulis, di sekitar level 0,3, bukan 0,4. Ini juga bukan angka yang berlebihan, mengingat di Indonesia pada tahun 1999, misalnya, gini ratio pernah menyentuh level 0,308.

Upaya yang Sudah dan Akan Terjadi

Data sejumlah indikator ekonomi di atas sudah berbicara dan menjelaskan sendiri mengenai berkurangnya sejumlah masalah penyakit dalam ekonomi makro Indonesia. Mengapa bisa demikian? Apa saja yang telah dilakukan team ekonomi pemerintah untuk dapat mencatat sejumlah perbaikan indikator ekonomi tersebut?

Sejumlah upaya pemerintah telah dilakukan dan membuahkan hasil. Yang pertama dapat disebutkan adalah manajemen tingkat inflasi yang mampu ditekan rendah secara konsisten, di bawah 3,6% selama lima tahun terakhir, sebagaimana data terlihat di atas. Kestabilan harga yang konsisten rendah ini adalah kinerja yang luar biasa, karena fenomena ini bahkan belum pernah terjadi sejak era kemerdekaan, sampai tahun 2014 itu.

Inflasi yang rendah membuat daya beli masyarakat tidak tergerus. Sebagaimana diketahui, penyakit inflasi ini dapat mengurangi kemampuan beli masyarakat terutama yang berpendapatan tetap. Tetapi, bila harga-harga relatif stabil, bahkan di saat seperti hari raya pun, maka daya beli masyarakat juga akan setidaknya stabil. Kepala BPS pernah menganalisis rendahnya inflasi sebagai penyebab menurunnya tingkat kemiskinan.

Berikutnya, dapat dilihat bahwa akhirnya pembangunan infrastruktur yang masif dari pemerintahan Jokowi berdampak dan berbuah juga. Apalagi dengan pembangunan yang dimulai dari pinggiran, dari pedesaan, yang cepat atau lambat dapat menggerakkan roda perekonomian di pinggiran dan pedesaan, dan itu tentunya mengurangi kesenjangan ekonomi. Data BPS di atas menunjukkan rendahnya ketimpangan pedesaan relatif dibandingkan perkotaan.

Pembangunan infrastruktur sangat padat karya. Kesempatan kerja terbuka langsung di lokasi-lokasi lokal proyek. Sejalan dengan itu, dampak guliran ekonominya akan segera dirasakan juga oleh masyarakat setempat. Ambil contoh saja, dengan dibukanya interchange Tol Kota Pekalongan sebagai bagian dari rangkaian tol Trans Jawa, telah membawa rejeki bagi para pedagang batik di Pasar Grosir Setono. Kabarnya kenaikan omzet pedagang batik ini melonjak hingga tiga kali lipat.

Kemudian, program bantuan sosial pemerintah yang ditujukan langsung ke kelompok masyarakat miskin juga punya dampak dalam menekan ketimpangan dan kemiskinan masyarakat. Di tahun 2020 ini pemerintah berupaya mempercepat pencairan bantuan sosial (bansos) supaya ekonomi dalam negeri bisa tumbuh.

Bansos yang dicairkan berbentuk Program Keluarga Harapan (PKH), Beras Sejahtera, dan Dana Desa. Pemerintah mengalokasikan anggaran bansos mencapai Rp102,9 triliun, atau meningkat 3,3% dari outlook realisasi anggaran bansos pada APBN 2019, Rp99,6 triliun.

Sementara itu, untuk mengurangi tingkat pengangguran, pemerintah berencana untuk membuka 12,8 juta lapangan kerja baru pada periode 2020 – 2024, dan itu diyakini akan mengurangi tingkat pengangguran ke level rendah lagi, 3%—4%.

Salah satu program yang ditonjolkan adalah Kartu Pra-Kerja, sebagai kebijakan yang diberikan kepada pencari kerja atau pekerja untuk mendapatkan layanan pelatihan vokasi. Anggaran Rp10 triliun dalam APBN 2020 telah disiapkan untuk menyelenggarakan pelatihan digital dan reguler bagi masyarakat dan terutama angkatan kerja.

Presiden Jokowi pernah menyatakan bahwa anak muda yang ingin mendapatkan insentif dari pemerintah berupa Kartu Pra-Kerja dapat memilih jenis kursus yang diinginkan. Antara lain coding, data analytics, desain grafis, akuntansi, bahasa asing, barista, agrobisnis, hingga operator alat berat.

Bagaimana strategi selanjutnya?

Pemerintah dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) untuk tahun 2020-2024, menargetkan gini rasio untuk turun lagi ke kisaran 0,36.

Untuk mencapai target tersebut, pemerintah disebutkan telah menyiapkan beberapa strategi, di antaranya dengan memanfaatkan perkembangan ekonomi digital dan revolusi industri ke-4. Direncanakan adanya peningkatan inklusivitas dari digital economy, yaitu dengan cara peningkatan kapasitas dan keterampilan tenaga kerja.

Kita tahu, teknologi terus bertumbuh dan mendorong terbentuknya ekonomi digital yang di antaranya nyata dengan perkembangan marak e-commerce. Kemudahan untuk memulai usaha semakin terbuka, melalui ribuan startup yang saat ini berkembang di tanah air. Ini akan dapat menyerap banyak tenaga kerja dan sekaligus mendorong pertumbuhan ekonomi, dan dampaknya bisa menekan lagi ke bawah angka gini ratio. Infonya kontribusi ekonomi digital terhadap PDB pada tahun 2018 mencapai Rp 814 triliun, sedangkan pada tahun 2025 diproyeksikan akan meningkat hingga Rp. 3.350 triliun.

Hal-hal yang Perlu Diperhatikan

Melihat keberhasilan nyata hasil pembangunan ekonomi yang berkeadilan di bawah pemerintahan pimpinan Presiden Jokowi, agaknya kita layak optimis dengan prospek ekonomi Indonesia ke depannya.

Tantangan tentu saja ada. Misalnya, meningkatnya risiko pelambatan ekonomi global yang dapat memunculkan instabilitas baru di pasar komoditas, uang maupun modal. Indonesia dengan perekonomian terbukanya wajar akan dapat terkena dampaknya.

Hal lain, yang menjadi perhatian tim penulis, adalah ruwetnya dan lamanya perizinan usaha di Indonesia yang bisa merupakan ancaman besar dalam peningkatan kemajuan ekonomi, serta menghambat penambahan lapangan kerja dan pembangunan industri ke depannya.

Untuk hal tersebut, memang pemerintah telah bertekad untuk terus mempercepat masuknya investasi langsung ke Indonesia, dengan menargetkan diberlakukannya “omnibus law” yang di antaranya akan memangkas 72 regulasi usaha dalam waktu dekat ini.

Sedangkan untuk masalah kemiskinan ini, tim penulis memandang pemerintah perlu untuk lebih fokus mengingat kemiskinan dapat menimbulkan ketidakstabilan. Ketidakstabilan akibat kemiskinan akan menciptakan konflik sosial, lemahnya penegakan hukum dan keamanan. Fokus pemerintah dalam mengatasi kemiskinan ini diperlukan guna menopang kestabilan, terutama ketika terjadi goncangan ekonomi dan politik.

Bagaimanapun, sekali lagi, kita tetap layak untuk optimis. Kalau di periode hampir 5 tahun terakhir antara pertumbuhan ekonomi yang solid dengan pemerataan dapat berjalan seiring, tentu akan demikian juga prospek ke depannya. Karenanya, prediksi banyak lembaga internasional global yang meramalkan ekonomi Indonesia akan bercokol di jajaran atas dunia pada dekade antara 2030 – 2050 layak dipercaya. Dan itu berbasis kepada keberhasilan ekonomi Indonesia dewasa ini. (Isa)


There is no ads to display, Please add some

Related posts

Sosialisasi Pengadaan Lahan Tol KLBM Di Cerme

Penulis Kontroversi

KOMJEN POL. DRS. H. FIRLI BAHURI, M.SI ; OTT SULSEL, KPK Tetapkan Dan Tahan 2 Tersangka Penerima dan 1 Tersangka Pemberi

Penulis Kontroversi

Kapolres Gerak Cepat Pimpin Mediasi Siswa Yang Mempersekusi Gurunya di Wringinanom

Penulis Kontroversi

Leave a Comment