Image default
Uncategorized

Surat Keterangan “Sakti” Hasil Rapid Test

Sudah hampir memasuki triwulan keempat di tahun 2020 pandemi covid-19 melanda Indonesia. Masih saja belum tampak jelas kearah mana pandemi di Indonesia ditangani. Pasalnya kasus demi kasus tiap harinya masih saja bertambah. Pembentukan gugus Covidpun belum juga memberikan dampak yg signifikan terhadap penurunan angka positif Covid. Terlebih di beberapa kota Besar. Meskipun ada juga kota yang sudah membaik, namun tidak sedikit kota besar yang kondisinya makin memburuk. Hal tersebut juga memantik beberapa spekulasi masyarakat tentang kejanggalan penanganan covid di negri ini. Salah satunya adalah metode tes yang dipilih pemerintah saat ini hingga munculnya surat sakti sebagai syarat administrasi kesehatan yg berhubungan dengan instansi. 

 

Secara umum Di indonesia digunakan 2 jenis tes yaitu PCR Swab test dan tes antobodi atau dikenal dengan Rapid test / tes serologis. Dua jenis tes ini sangat berbeda dari mulai metode pengambilan sampel hingga mekanisme penentuan hasil di laboratorium. Metode dari masing-masing tes tentu sudah banyak orang mengerti begitu juga dengan tingkat kevalidannya. 

Untuk validasi PCR Swab Test sudah diakui dari seluruh dunia dan menggunakan tes tersebut sebagai gold standard dalam pengujian sampel COVID-19. Dari awalpun Indonesia juga telah menetapkan bahwa PCR Swab Test adalah standar emas uji Covid-19.

Pada beberapa bulan selanjutnya barulah pemerintah mendatangkan ribuan alat tes Rapid berupa tes antibodi/serologis. Dimana tes ini awalnya memang agak diragukan kevalidannya. Karena test ini hanya menscreening antobodi apakah dalam kondisi melawan virus atau tidak. Sedangkan virus yang dilawanpun masih belum dapat dipastikan apakah Covid-19 atau virus lain. Berbeda dengan Swab Test, dimana bukan sekedar screening, tp memastikan ada tidaknya potongan genetik Covid-19 dalam sampel, jika masih ada potongan genetik, maka dinyatakan positif, dan sebaliknya. 

 

Belakangan ini Rapid test ternyata lebih populer daripada PCR test. Mungkin karena harganya lebih murah dan lebih simpel dan cepat menentukan hasilnya. PCR Swab test dengan labelnya sebagai standard gold penentuan Covid dihargai 1,5 juta dengan harga konstan mulai dari triwulan pertama saat covid menjajah Indonesia, hingga sekarang. Dengan ketentuan ketika pasien negatif, diwajibkan membayar nominal tersebut, dan ketika pasien positif akan digratiskan. Jadi saran saya kalau tes swab sekalian positif saja, tapi akhirnya sembuh. 

sedangkan untuk Rapid test awalnya dibandrol Rp. 600.000,- dan berselang beberapa bulan, hingga terakhir saya mendengar dari salah satu Nakes yang saya kenal adalah sekitar Rp. 100.000,-, Baguslah kalau turun.

Tapi menurut hemat saya, dalam bisnis ada istilah BEP (break event point) dimana bisnis mencapai titik keadaan tidak untung dan tidak rugi. Pertanyaan saya tentang harga Rapid test, apakah sudah mencapai BEP ?, sehingga terjadi penurunan harga sedrastis itu. Pertanyaan saya lagi, apakah rapid test diadakan untuk bisnis atau murni untuk membantu rakyat dalam melawan Covid-19  ?.

Kalaupun murni untuk rakyat, menurut saya, harusnya dari awal tidak ada bandrol harga setinggi itu ketika memang tidak ada unsur bisnis didalamnya.

 

Ada hal lain yang menarik, ketika hasil rapid test dijadikan sebagai patokan positif atau negatic Covid-19. Dalam surat keterangan sehatnya tertera kalimat yang intinya menyatakan bahwa “pasien dinyatakan negatid Covid-19”. Padahal dari awal kita tau bahwa Rapid test hanya untuk screening antibodi, bukan untuk menentukan ada tidaknya covid-19 ditubuh seseorang. 

 

Cerita selanjutnya adalah ketika hasil rapid test menjadi syarat dari suatu instansi atau sejenisnya kepada seseorang untuk dapat melakukan aktifitas tertentu. Misalnya, ketika seseorang mempunyai surat tersebut, maka bisa melakukan perjalanan antar kota, provinsi, bahkan negara. Atau bisa melakukan kegiatan lainnya. Dalam surat tersebut juga tertera kalimat yang intinya “surat ini berlaku selama 14 hari”. Bukankah lucu ? Ketika orang bisa leluasa beraktifitas tanpa dilarang oleh petugas tertentu dengan hanya menunjukkan surat tersebut. 

Apa yang bisa menjamin dalam 14 hari orang tersebut tidak terkena covid ?

Bisa saja satu jam setelah tes dia terinfeksi. 

Tidak heran ada yang menyebut surat hasil Rapid test adalah “SURAT SAKTI”. Padahal hasil surat tersebut juga berupa screening antibodi, belum final negatif covid. Dan mungkin akhirnya PSBB lagi PSBB lagi.

 

tentunya hal tesebut bukan suatu kesalahan sistem, hanya saja menurut saya kurang tepat. Harusnya tetap konsisten memakai gold standar berupa Swab Test. Ketika ada yang bilang biaya mahal, itu tidak salah. Karena memang mahal, akhirnya memilih Rapid test lagi. Padahal seharusnya pemerintah hadir untuk memberikan solusi. Seperti solusi yang diberikan oleh dr. Tirta seorang Nakes sekaligus relawan  Covid-19, bahwa “harusnya test Swab ini lebih murah, atau bahkan gratis, bagaimana bisa habis Covidnya kalau tesnya saja mahal”.

 

Tetap saja, kita perlu memberikan apresiasi terhadap pelaku lapangan yang memang benar tulus dalam menangani Covid-19 di Indonesia. Mulai dari relawan, Nakes, pemerintah, dan pihak lain yang rela turun tangan dengan tulus. Termasuk Mendoakan yang terkena dampak ekonomi. Juga kepada para petugas Kesehatan yang gugur dalam penanganan pasien Covid-19. Semoga kita tidak lupa dengan jasa-jasa dan perjuangannya yang menjadi garda terdepan pada masa Pandemi seperti ini. (As Syukri)


There is no ads to display, Please add some

Related posts

Karena tergiur 30 juta Nekat Culik Anak Dibawah Umur

Penulis Kontroversi

Cara Murah Mencegah Stroke

admin

Polsek Cerme Intensifkan Gerakan Masker

Penulis Kontroversi

Leave a Comment