Image default
  • Home
  • Budaya
  • LIPI: Medsos Semai Bibit Intoleransi-Radikalisme
Budaya Hankam Hukum & Kriminal Peristiwa Politik & Pemerintahan

LIPI: Medsos Semai Bibit Intoleransi-Radikalisme

Kementerian Komunikasi dan Informatika berperan besar menerjemahkan secara lebih baik penggunaan teknologi informasi dan komunikasi, termasuk penggunaan regulasi terhadap medsos

Kontroversi Medsos: Peneliti dari Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Sri Yanuarti menyebutkan media sosial berdampak besar dalam menyemai bibit intoleransi dan radikalisme.

“Intoleransi dan radikalisme lahir dari narasi di media sosial”, katanya saat diskusi peluncuran hasil riset intoleransi dan radikalisme di Indonesia oleh Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI) dan LIPI di Semarang. (15/11)

Lebih lanjut Sri menjelaskan Kementerian Komunikasi dan Informatika berperan besar menerjemahkan secara lebih baik penggunaan teknologi informasi dan komunikasi, termasuk penggunaan regulasi terhadap medsos.

Dalam merekam persemaian benih radikalisme dan intoleransi, survei LIPI telah melakukan penelitian di sembilan provinsi, yakni DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Banten, Sumatera Utara, Sulawesi Selatan, DIY, dan Aceh.

Sri juga menyebutkan keseluruhan responden yang terlibat dalam survei sebanyak 1.800 orang yang terbagi 200 responden di masing-masing provinsi dengan metode kuantitatif selama tiga bulan, mulai Juli-September 2018.

Dari survei yang telah dilakukan, LIPI menemukan 62,6 persen masyarakat di sembilan provinsi tidak setuju klaim sesat terhadap pemeluk agama lain, 6,9 persen sangat tidak setuju klaim sesat, dan 23,7 persen setuju, dan 6,9 persen sangat setuju.

Kemudian 43,6 persen responden tidak setuju penerapan perda syariah di daerahnya, sebesar 6,9 persen sangat tidak setuju perda syariah, sementara yang setuju 42,5 persen, dan yang sangat setuju sebesar 7 persen.

“Survei ini memiliki `margin error` sebesar 2,4 persen. Catatan kami, perbedaan yang sangat tipis ini mencerminkan sebagian masyarakat sudah menghilangkan pikiran bahwa Indonesia dibangun atas dasar keberagaman”, tuturnya.

Sementara itu, Ketua Tim Antiradikalisme Universitas Diponegoro Semarang Muhammad Adnan mengatakan penelitian tersebut perlu ditindaklanjut dengan meneliti penyebab kemunculan faktor-faktor tersebut.

“Jadi, lebih ke substansinya. Seakan-akan intoleransi muncul karena orang tidak ingin kalau yang menjadi pemimpin bukan yang seagama. Perlu dicari kenapa? Apa hanya ikut-ikutan, diindoktrinasi, belajar sendiri dari medsos, atau terpengaruh orang lain”, katanya. (zl)


There is no ads to display, Please add some

Related posts

Diduga Penerima Bantuan Dana Hibah Daerah Tahun 2018 UMKM ” Garuda Jaya ” Fiktif Dan Kurang Tepat Sasaran

Penulis Kontroversi

Ada Perbaikan DTKS, Para KPM pulang Tanpa Bawa Sembako

Penulis Kontroversi

Babinsa Desa Parak, Sebut Lomba Perahu Layar Sebagai Asset dan Daya Tarik Wisata Masa Depan Selayar

Penulis Kontroversi

Leave a Comment