Image default
  • Home
  • Opini
  • Kontroversi Antipolitisasi Agama, Kampanye Politik dan Pengajian Politik di Masjid
Opini

Kontroversi Antipolitisasi Agama, Kampanye Politik dan Pengajian Politik di Masjid

Oleh: Delapan6

Gerakan Nasional Relawan Dukung Joko Widodo atau Jokowi membuat program dengan mengkampanyekan isu antipolitisasi masjid. Para relawan itu menggagas program ini untuk mengembalikan fungsi masjid sebagai tempat ibadah. Mereka ingin mencontohkan para ustad dan takmir agar berbicara mengenai Islam yang benar. Program itu dilakukan melalui ceramah dan pengajian yang digelar relawan. “Kami melakukan ceramah soal itu tiap ada pengajian relawan”, kata koordinator gerakan, Sylver Matutina di Sarinah Jakarta Pusat.

Uniknya para relawan yang meneriakkan program antipolitisasi masjid itu adalah relawan yang sebagian bukan beragama Islam. Padahal dalam waktu berapa tahun terakhir ini justru kepedulian dan kebersatuan umat Islam terhadap politik dan pengajian politik Islam di Masjid semakin meningkat. Kondisi itu justru menimbulkan berbagai hantaman terhadap kebangkitan umat dengan semakin marak isu sekuler, politisasi agama dan gerakan anti politisasi agama di Masjid.

Saat mendekati hajatan politik pilpres dan Pilkada, suara masyarakat umat muslim selalu menjadi incaran parpol dan para politikus. Fenomena inilah ternyata yang mendasari perpecahan dan pertentangan yang luas di antara sesama umat muslim dan antar umat beragama lainnya. Hal ini diperparah dengan adanya paham yang berkembang dipelopori oleh tokoh Islam berpaham pluralisme, liberalisme, dan sekulerisme agama. Berkembangnya paham pluralisme, liberalisme, dan sekulerisme agama dikalangan masyarakat telah menimbulkan keresahan di tengah pertarungan politik yang memperebutkan suara muslim.

Paham paham tersebut saat ini dipakai senjata untuk meredam kebangkitan dan kebersatuan umat muslim yang akan berpartisipasi di dalam bidang politik. Biasanya paham sekularisme itu dikembangkan oleh para tokoh Islam Indonesia yang berpaham Islam Liberal. Melihat dampak yang buruk bagi umat muslim Indonesia tersebut maka sebagian masyarakat meminta MUI untuk menetapkan fatwa tentang masalah tersebut.

Pada tahun 2005 MUI memandang perlu menetapkan fatwa tentang paham sekulerisme, liberalisme dan pluralisme agama tersebut adalah haram untuk dijadikan pedoman oleh umat Islam. Untuk memutuskan bahwa paham liberal, sekuler dan pluralisme haram berdasarkan dalil Quran dan Hadits.

Sebagian besar anak bangsa tentu akan sepakat bahwa berdasarkan Pancasila Indonesia bukan bangsa sekuler karena Indonesia adalah bangsa yang religius. Negara sekuler salah satunya dideskripsikan sebagai negara yang mencegah agama ikut campur dalam masalah pemerintahan, dan mencegah agama menguasai pemerintahan atau kekuatan politik. MUI memandang telah menetapkan paham sekulerisme agama adalah haram untuk dijadikan pedoman oleh umat Islam.

Sehingga karena diharamkan maka justru agama wajib tidak dipisahkan dengan politik dan pemerintahan. Agama dan politik tidak bisa dipisahkan karena sama-sama mengatur kehidupan seluruh umat bangsa Indonesia. Agama seharusnya wajib digunakan sebagai dasar dalam kehidupan berpolitik.
Agama hadir untuk mengatur urusan dan hubungan sesama manusia atau banyak orang. Tidak mungkin di tengah-tengah umat yang sangat agamis ini dalam berpolitiknya tidak menggunakan nilai agama. Agama pasti melandasi dan mendasarinya. Tetapi langkah politik termasuk dalam melakukan aktifitas demokrasi dalam pemberian suara dalam Pilkada dan Pilpres harus sesuai dengan tuntunan dan perintah agama. Kepentingan politik adalah kehidupan dunia sesaat atau pragmatis. Tetapi kepentingan agama adalah untuk kehidupan dunia dan akhirat nantinya.

Pengajian Politik
Saat ini fungsi masjid dianggap semakin terdegradasi karena hanya digunakan aktivitas ibadah ternyata menjadi keprihatinan berbagai ulama dan tokoh masyarakat di Indonesia. Apalagi saat ini ada upaya sistematis sama seperti yang terjadi di jaman Belanda bahwa masjid dikondisikan hanya untuk ibadah bukan yang lain. Upaya itu dituding dilakukan pihak tertentu untuk meredam aspirasi politik dan kebangkitan umat Islam Indonesia baik di jaman Belanda hingga zaman modern ini.

Karena itu, mantan pimpinan Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Cholil Ridwan, sejumlah ulama dan tokoh masyarakat berupaya menghidupkan kembali fungsi masjid seperti masa Rasulullah sebagai basis kajian politik masyakat Islam. Upaya itu ditandai dengan berdirinya Pengajian Politik Islam (PPI) di masjid Al Azhar di tahun 2012 semakin memuncak beberapa tahun terakhir ini. Gerakan pengajian politik Islampun mulai tersebar di seluruh masjid Indonesia.

Pengajian politik Islam yang berbasis di masjid ini didasari atas semakin sempitnya fungsi masjid di masyarakat. Sedangkan, di sisi lain, kesadaran partisipasi politik umat Islam kian melemah karena dihantam berbagai isu negatif tentang buruknya politik Islam. Politik Islam yang seharusnya penuh kedamaian dan rahmat bagi semua umat di Indonesia, dikonotasikan negatif. Politik Islam selalu dituding pihak tertentu sebagai penyebab perpecahan bangsa, anti NKRI, anti Pancasila, radikalisme, korupsi, antikebinekaan dan konotasi menyeramkan lainnya.

Akibatnya, setiap perjuangan politik umat Islam menjadi lemah dan kurang diperhitungkan di kancah politik lokal dan nasional. Bila dipahami dengan baik sebenarnya pengajian politik Islam yang berbasis di masjid ini adalah upaya untuk memberikan pemahaman politik Islam yang benar kepada umat.

Tujuan pengajian politik Islam di masjid ini bukan untuk mengarahkan umat ke salah satu kelompok dan partai politik tertentu. Namun, pemahaman politik yang disampaikan ini bertujuan untuk menyatukan pandangan akan pentingnya umat Islam berpartisipasi memilih partai politik dan calon pemimpin yang benar sesuai anjuran Alquran dan hadis.

Pengajian politik diharapkan tidak mempermasalahkan perbedaan mazhab, kelompok, parpol, dan ormas. Tapi, bertujuan menyatukan kesadaran politik umat Islam dalam bernegara yang bermoral, damai, saling menghormati atau melindungi serta menjunjung tinggi kebersamaan NKRI.

Ketua Umum Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII) KH Syuhada Bahri mengungkapkan, masjid sebagai tempat ibadah umat Islam harus tetap menjaga netralitasnya dari kepentingan politik praktis. Tetapi upaya beberapa ulama dan tokoh masyarakat yang ingin mengembalikan fungsi masjid tidak sebagai tempat ibadah semata suatu langkah baik dan harus didukung.

Selain tempat beribadah masjid harus bisa memberikan solusi kehidupan umat, mulai dari masalah keagamaan, pendidikan, ekonomi, budaya, sosial hingga politik. Fungsi masjid menjadi lebih luas seperti yang diteladankan Nabi Muhammad SAW. Masjid pun berfungsi sebagai madrasah yang mencerdaskan masyarakat. Posisi seperti ini sangat rentan disalahgunakan oleh kau politisi. Karena itu, ia tetap mengingatkan masjid tetap harus netral dari kampanye politik praktis agar tidak mencederai umat Islam secara luas.

Para ulama dan cendikiawan muslim akan terus membangun kesadaran bersama di kalangan umat Islam pentingnya persatuan dalam politik dan ekonomi bagi pembangunan bangsa dalam bentuk pengajian umum di seluruh wilayah Indonesia. Tujuan bagi setiap pengajian adalah memunculkan kesadaran bersama umat Islam untuk bersatu membangun bangsa dalam bidang politik dan ekonomi.

Gus Sholah seorang tokoh besar NU yang juga adik Gus Dur dalam kegiatan pengajian politik Islam yang di selenggarakan di Masjid Habibi Katang Sukorejo, Gampengrejo, Kediri pada Jum’at kemarin (03/04) mengatakan bahwa pemahaman politik Islam perlu dikaji terlebih dalam. Karena pemahaman sempit dengan mengatakan bahwa politik Islam adalah politik sebagai wahana untuk mendirikan negara Islam. Menurut Gus Solah politik adalah wahana untuk membangun negara yang beragama Islam, bukan negara Islam.

Berbeda dengan ulama dan para tokoh agama Islam lainnya. Presiden Joko Widodo saat meresmikan Tugu Titik Nol Peradaban Islam Nusantara di Kecamatan Barus, Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, Jumat (24/3/2017), seperti dikutip Antara meminta semua pihak agar memisahkan persoalan politik dan agama.

Tetapi perbedaan pendapat itu seminggu setelah itu segera diperbaiki oleh ulama yang saat ini semakin dekat dengan Jokowi. Ketua Majelis Ulama Indonesia Ma’ruf Amin mengatakan, secara garis besar, politik dan agama tak bisa dipisahkan. Agama dan politik menurutnya justru bisa saling menopang.

Ia mencontohkan upaya islam moderat seperti PBNU menyelesaikan soal Islam dan Pancasila serta hubungan antara Muslim dan non-Muslim. “Itu semua diberi landasan-landasan keagamaan. Sebenarnya antara politik dan agama saling menopang,” kata Ma’ruf seperti yang dilansir usai bertemu Presiden Joko Widodo di Istana Kepresidenan, Kamis (30/3).

Politisasi Agama dan Pengajian Politik
Saat kesadaran umat muslim terhadap politik semakin meningkat. Semakin meningkat pula segala upaya untuk meredamnya. Apalagi para pengamat politik mengatakan saat pertarungan Politik di tahun 2019 salah satu kandidatnya dianggap bermasalah dengan kedekatannya dengan umat Islam. Hal itu diperparah dengan semakin banyaknya kemunculan serangan isu kriminalisasi ulama, isu komunis, pembunuhan dan penganiayaan ulama dan ustadz, Perpu Ormas dan berbagai isu yang berkaitan dengan agama lainnya meningkat. Isu tersebut ternyata semakin lama memperburuk citra kandidat politisi tersebut di mata umat muslim. Beberapa pengamat berspekulasi, berbagai kondisi tersebut membuat upaya pengajian politik Islam di berbagai masjid yang sesang berkembang pesat mulai dihantam kanan dan kiri dengan isu sekuler, politisasi Islam dan termasuk antipolitisasi masjid.

Masyarakat harus memahami dan memaknai dengan cermat saat pernyataan ‘jangan politisasi agama. Sebaliknya bila ada kelompok lainnya yang mengatakan ‘kita harus menggunakan agama dalam berpolitik’. Pemimpin negeri, elit politik dan rakyat yang harus memiliki kesepahaman yang sama terkait maksud dari definisi pernyataan tersebut. Untuk lebih memahami itu sebaiknya juga harus dipahami apa itu definisi kampanye politik atau pengajian politik.

Politisasi agama adalah politik manipulasi mengenai pemahaman dan pengetahuan keagamaan, kepercayaan dengan menggunakan cara propaganda, Indoktrinasi, kampanye, disebarluaskan, sosialisasi dalam wilayah publik dilaporkan atau diinterpretasikan agar terjadi migrasi pemahaman, permasalahan dan menjadikannya seolah-olah merupakan pengetahuan keagamaan/kepercayaan, kemudian, dilakukan tekanan untuk memengaruhi konsensus keagamaan/kepercayaan dalam upaya memasukan kepentingan sesuatu kedalam sebuah agenda politik pemanipulasian masyarakat atau kebijakan publik. Melihat pemahaman politisasi agama tersebut maka bisa saja berkonotasi negatif dan bisa juga berarti positif tergantung niat, tujuan dan caranya.

Politisasi agama belakangan dinilai sebagai sesuatu yang negatif. Bila politisasi agama dilakukan dengan niat baik dan tidak melanggar hukum maka adalah sesuatu yang positif. Bahkan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD justru menilai politisasi agama sebagai hal positif, asalkan bertujuan membangun bangsa. Dia mencontohkan pendiri Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan dan pendiri Nahdlatul Ulama (NU), KH Hasyim Asy’ari, justru menggunakan kekuatan agama untuk kepentingan politik. Politisasi agama juga berkonotasi negatif bila simbol agama dan panutan agama seperti ayat-ayat kitab suci dan tokoh ulama banyak disalahgunakan hanya untuk kepentingan pribadi dalam meraih kekuasaan sesaat.

Politisasi agama berkonotasi negatif bila bertujuan untuk kepentingan pribadi. Misalnya bila calon Pemimpin Daerah atau Capres melakukan kunjungan atau mengundang ulama dengan niat agar dianggap dekat dengan umat muslim atau untuk agar dapat meraih suara dalam pemilu adalah berkonotasi negatif. Sehingga saat Jokowi, Syaifullah Yusuf atau Kofifah Indarparawansa mendekati ulama apakah politisasi agama yang buruk atau baik. Sulit untuk menilai, karena untuk menilai niat tidaklah mudah. Tetapi rakyat akan menilai. Saat sebelumnya jarang bertemu ulama, jarang menjadi imam shalat, atau jarang ke mesjid.

Tetapi saat mendekati pilkada atau Pilpres jadi lebih sering. Tetapi saat melakukan politisasi agama yang positif sebaiknya harus didukung. Tetapi saat melakukan politisasi agama yang berkonotasi negatif tidak ada yang berhak melarang karena tidak melanggar hukum atau aturan apapun. Politisasi agama yang berkonotasi negatif hanya melanggar etika dan syariat agama. “Mereka menukarkan ayat-ayat Allah dengan harga yang sedikit, lalu mereka menghalangi (manusia) dari jalan Allah. Sesungguhnya amat buruklah apa yang mereka kerjakan. (QS at-Taubah [9]: 9).

Surat at-Taubah (9) ayat 9 ini merupakan gambaran kaum Musyrik, yang biasa menukar ayat-ayat Allah Swt. dengan harga yang rendah. Mereka memutarbalikkan ayat-ayat tersebut hanya untuk mendapatkan kepentingan dunia, baik berupa kekuasaan, kepemimpinan, maupun harta dengan cara menghalangi manusia untuk beriman sehingga loyalitasnya tetap untuk mereka. Sekalipun obyek ayat ini adalah kaum Musyrik, adanya penyifatan, “Sesungguhnya amat buruklah apa yang mereka kerjakan,”menunjukkan bahwa siapapun orang yang melakukan perbuatan tersebut berarti melakukan perbuatan paling buruk, yang tentu saja diharamkan.

Demikian pula politisasi agama dalam masjid tidak ada undang undang dan hukum manusia yang di langgar. Sehingga tidak seseorangpun berhak melarangnya. Seperti halnya orang tidak berhak melarang Jokowi dan para calon Gubernur yang tampak lebih sering bertemu ulama, sering bersedekah uang dan sembako pada umat miskin di jalanan, lebih sering ke mesjid atau lebih sering menjadi imam shalat hanya saat menjelang tahun politik saja. Meskipun hal itu dibantah para pendukungnya bahwa itu sudah sering dilakukan para politisi itu sejak dulu.

Bila politisasi agama dalam tujuan positif bukan demi kepentingan pribadi atau kelompok, tetapi demi kepentingan bangsa dan agama maka aktifitas politik itu yang harus didukung dan diteladani.

Politisasi agama menjadi masalah atau berkonotasi negatif selain demi kepentingan pribadi bila melanggar hukum dan etika. Politisasi agama bila dilakukan dengan cara kasar, menjelek jelekan pihak lain, fitnah dan mengeluarkan berita bohong maka dapat melanggar etika dan hukum. Politisasi agama di masjid akan melanggar hukum bila berdakwah yang masuk kriteria kampanye. Politisasi agama bila mengandung kampanye seperti yang dimaksud dalam pasal 1, ketentuan umum UU nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Yaitu kegiatan untuk meyakinkan pemilih dengan menyampaikan misi, visi dan program calon. Kampanye politik didalam masjid adalah ceramah atau pidato di depan masjid dengan menjelaskan visi, misi dan program parpol atau calon pemimpin pildada dan pilpres. Kampanye politik bila menyerukan nama seseorang berulang ulang untuk dipilih di pemilu.

Gerakan Anti Politisasi Agama
Relawan Jokowi saat itu menggagas program untuk mengembalikan fungsi masjid sebagai tempat ibadah. Uniknya para relawan yang meneriakkan program antipolitisasi masjid itu sebagian adalah relawan ya
Politisasi agama berkonotasi negatif bila bertujuan untuk kepentingan pribadi. Misalnya bila calon Pemimpin Daerah atau Capres melakukan kunjungan atau mengundang ulama dengan niat agar dianggap dekat dengan umat muslim atau untuk agar dapat meraih suara dalam pemilu adalah berkonotasi negatif. Sehingga saat Jokowi, Syaifullah Yusuf atau Kofifah Indarparawansa mendekati ulama apakah politisasi agama yang buruk atau baik. Sulit untuk menilai, karena untuk menilai niat tidaklah mudah. Tetapi rakyat akan menilai. Saat sebelumnya jarang bertemu ulama, jarang menjadi imam shalat, atau jarang ke mesjid.

Tetapi saat mendekati pilkada atau Pilpres jadi lebih sering. Tetapi saat melakukan politisasi agama yang positif sebaiknya harus didukung. Tetapi saat melakukan politisasi agama yang berkonotasi negatif tidak ada yang berhak melarang karena tidak melanggar hukum atau aturan apapun. Politisasi agama yang berkonotasi negatif hanya melanggar etika dan syariat agama. “Mereka menukarkan ayat-ayat Allah dengan harga yang sedikit, lalu mereka menghalangi (manusia) dari jalan Allah. Sesungguhnya amat buruklah apa yang mereka kerjakan. (QS at-Taubah [9]: 9).

Surat at-Taubah (9) ayat 9 ini merupakan gambaran kaum Musyrik, yang biasa menukar ayat-ayat Allah Swt. dengan harga yang rendah. Mereka memutarbalikkan ayat-ayat tersebut hanya untuk mendapatkan kepentingan dunia, baik berupa kekuasaan, kepemimpinan, maupun harta dengan cara menghalangi manusia untuk beriman sehingga loyalitasnya tetap untuk mereka. Sekalipun obyek ayat ini adalah kaum Musyrik, adanya penyifatan, “Sesungguhnya amat buruklah apa yang mereka kerjakan,”menunjukkan bahwa siapapun orang yang melakukan perbuatan tersebut berarti melakukan perbuatan paling buruk, yang tentu saja diharamkan.

Demikian pula politisasi agama dalam masjid tidak ada undang undang dan hukum manusia yang di langgar. Sehingga tidak seseorangpun berhak melarangnya. Seperti halnya orang tidak berhak melarang Jokowi dan para calon Gubernur yang tampak lebih sering bertemu ulama, sering bersedekah uang dan sembako pada umat miskin di jalanan, lebih sering ke mesjid atau lebih sering menjadi imam shalat hanya saat menjelang tahun politik saja. Meskipun hal itu dibantah para pendukungnya bahwa itu sudah sering dilakukan para politisi itu sejak dulu.

Bila politisasi agama dalam tujuan positif bukan demi kepentingan pribadi atau kelompok, tetapi demi kepentingan bangsa dan agama maka aktifitas politik itu yang harus didukung dan diteladani.

Politisasi agama menjadi masalah atau berkonotasi negatif selain demi kepentingan pribadi bila melanggar hukum dan etika. Politisasi agama bila dilakukan dengan cara kasar, menjelek jelekan pihak lain, fitnah dan mengeluarkan berita bohong maka dapat melanggar etika dan hukum. Politisasi agama di masjid akan melanggar hukum bila berdakwah yang masuk kriteria kampanye. Politisasi agama bila mengandung kampanye seperti yang dimaksud dalam pasal 1, ketentuan umum UU nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Yaitu kegiatan untuk meyakinkan pemilih dengan menyampaikan misi, visi dan program calon. Kampanye politik didalam masjid adalah ceramah atau pidato di depan masjid dengan menjelaskan visi, misi dan program parpol atau calon pemimpin pildada dan pilpres. Kampanye politik bila menyerukan nama seseorang berulang ulang untuk dipilih di pemilu.

Gerakan Anti Politisasi Agama
Relawan Jokowi saat itu menggagas program untuk mengembalikan fungsi masjid sebagai tempat ibadah. Uniknya para relawan yang meneriakkan program antipolitisasi masjid itu sebagian adalah relawan yang bukan beragama Islam. Sebaiknya sebelum terjun ke politik praktis trsebut mereka yang non muslim tersebut mungkin harus belajar intoleransi yang sebenarnya. Padahal berceramah politik di masjid tidak melanggar undang undang. Kecuali kalau memang berkampanye di masjid dilarang undang undang.

Ketika mereka selalu meneriakkan anti Pancasila dan intoleransi mereka sendiri yang selalu memulai gerakan intoleransi untuk mencampuri urusan agama lainnya. Padahal politik dan agama di negara Pancasila tidak bisa dipisahkan. Hal ini menjadi kontroversial karena sebagian musuh Islam takut dengan kebangkitan dan kebersatuan umat Muslim di Indomesia dalam berpolitik sehingga mereka meriakkan politik harus dipisah dari agama. Umat muslim sebaiknya harus merujuk pada fatwa MUI bahwa paham sekuler diharamkan agama.

Kelompok pendukung Jokowi yang melakukan gerakan antipolitisasi agama itu ingin mencontohkan para ustad dan takmir agar berbicara mengenai Islam yang benar. Ketika mereka mulai menggugat substansi ceramah ulama dan para ustadz yang bukan wewenangnya, mulailah perseteruan itu menggoyang emosi umat yang selalu dipaksa untuk bersabar.

Jangankan orang awam atau politisi, Komisi dakwah MUI Pusat pernah mengkritisi rencana Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang akan mengeluarkan aturan soal materi khotbah untuk dijadikan referensi bagi para tokoh agama di masa kampanye Pilkada 2018. Ketua Komisi Dakwah MUI Pusat, Cholil Nafis menyatakan bahwa rencana tersebut sia-sia saja.

Menurut Cholil siapa pun tak bisa mengatur materi khutbah dan ceramah. Jangankan Bawaslu, Menteri Agama (Menag) atau Presidenpun juga tidak bisa. Selain itu Cholil juga mempertanyakan metode pengaturan isi khotbah dan ceramah. Sebab, pemerintah selama ini tidak memiliki prosedur mengangkat khotib. Sehingga mustahil pemerintah bisa mengatur materi khutbah dan ceramah.

Pengajian Politik Yang Ideal
Memasuki tahun politik ini kondisi psikologis masyarakat Indonesia sangat sensitif. Ketika aktifitas politik itu memakai istilah Antipolitisasi Agama, Kampanye Politik dan Pengajian Politik di Masjid yang menyinggung pihak lain maka perdebatan panjang dan perseteruan emosi akan terjadi. Apalagi kepentingan yang didominasi politik itu menyinggung keyakinan agama maka sensitifitas rasionalitas umat akan bergolak kencang. Akan lebih runyam lagi saat umat yang bukan agamanya ikut mengurus keyakinan dan ibadah umat lainnya.

Sehingga untuk menjaga kedamaian dan persatuan sebaiknya bila bukan agamanya jangan mencampuri agama lainnya. Agar tidak terjadi ketegangan antar umat masyarakat juga harus menyamakan persepsi dan memahami dengan baik definisi yang sama apakah pengertian Politisasi Agama, Kampanye Politik dan Pengajian Politik di Masjid .

Sehingga idealnya pengajian politik memang harus dihindari saat melangggar etika dan hukum. Untuk menghindari pelanggaran etika dapat dicegah dalam menyerukan kehidupan politik tidak harus dengan menyebat fitnah, menjelek jelekan dan kata kata kasar. Kalau dengan menyerukan pesan ayat Quran dengan suara keras tetapi tidak kasar seharusnya tidak masalah bagi umat di seluruh Indonesia.

Untuk mencegah pelanggaran hukum harus merujuk pada aturan KPU yang dilarang kampanye dalam masjid. Bila pengajian politik Islam itu tidak ada pelanggaran etika dan pelanggaran hukum maka tidak ada yang bisa melarang ulama dan para ustadz untuk berceramah politik di masjid. Karena itu adalah hak umat muslim dalam kehidupan beragama dan beribadah.

Maraknya kebangkitan maraknya pengajian politik di masjid dan kepedulian terhadap politik salah satunya terinspirasi guru Erdogan mantan Perdana Menteri Turki Necmettin Erbakan yang mengatakan: “Muslim yang tidak pedulikan politik akan dipimpin oleh poliitikus yang tidak pedulikan orang Islam”, Umat muslim juga terinspirasi penyair Jerman Bertolt Brecht, yang mengatakan: “Buta yang terburuk adalah BUTA POLITIK. Dia tidak mendengar, tidak berbicara dan tidak berpartisipasi dalam peristiwa politik”.

Dia tidak tahu bahwa biaya hidup, harga kacang, harga ikan, harga tepung, biaya sewa, harga sepatu dan obat, dll semua tergantung pada KEPUTUSAN POLITIK. Orang yang BUTA POLITIK begitu bodoh sehingga ia bangga dan membusungkan dadanya mengatakan bahwa ia membenci politik.

Dungu ini tidak tahu bahwa dari kebodohan politiknya lahir pelacur, anak terlantar, dan pencuri terburuk dari semua pencuri, politisi buruk, rusaknya perusahaan nasional dan multinasinal.”Pengajian politik Islam di masjid tampaknya tidak akan yang bisa melarang karena tidak melanggar etika dan aturan hukum apapun. Pengajian politik di Masjid akan merubah wawasan pola pikir umat muslim yang sudah terlanjur membenci politik dan terlanjur terkecoh oleh oknum politikus yang tidak pedulikan Islam.


There is no ads to display, Please add some

Related posts

Inmed Permudah Akses Layanan Kesehatan Masyarakat Malang

Penulis Kontroversi

Cara untuk Maju dalam Kehidupan

Penulis Kontroversi

Pakar Saraf dari Institut Pertanian Bogor: Literasi Tidak Redam Hoax

Penulis Kontroversi

Leave a Comment