Image default
Politik & Pemerintahan

Defisit Tak Berujung, Jaminan Kesehatan Terkatung

Pada 2017 total beban jaminan kesehatan BPJS Kesehatan adalah Rp.84,44 triliun; sebanyak Rp70,93% dihabiskan untuk berbagai pengobatan dan tindakan di rumah sakit & Tren rawat inap secara nasional memang mengalami perkembangan yang cukup signifikan dalam periode 2014—2016. Pada 2014 pasien rawat inap hanyalah 2,50% dari total penduduk. Namun pada 2016, persentasenya telah mencapai 3,74%.

Kontroversi BPJS: Pemandangan antrean yang mengular di loket pendaftaran rumah sakit menjadi hal yang lumrah saat ini. Sejak pagi para pasien dan walinya tampak suntuk menunggu nomor antreannya dipanggil untuk sekadar bisa memperoleh tiket awal konsultasi ke dokter sesuai kebutuhan. Tidak hanya di rumah sakit negeri yang dikelola pemerintah, antrean serupa kerap pula didapati di layanan rumah sakit swasta.

Saat ini pengobatan menjadi lebih mudah untuk berbagai kalangan tanpa terkecuali. Status sebagai peserta Badan Pengelola Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan telah membuat biaya pengobatan tidak lagi menjadi momok yang demikian menakutkan. Asal sesuai syarat dan prosedur, tiap peserta BPJS Kesehatan bisa menikmati rasanya mendapat pengobatan hingga tanpa mengeluarkan duit sepeserpun.

Tiap bulannya peserta BPJS Kesehatan hanya perlu mengeluarkan dana minim untuk bisa terus memperoleh pemanfaatan penanganan berbagai penyakit. Iurannya jelas sangat ringan berkisar Rp25.500—80.000. Tentu saja itu bergantung kelasnya. Kalau dibandingkan dengan asuransi swasta? Jelas ini lebih ringan.

Kepala Humas BPJS Kesehatan Nopi Hidayat menyatakan jumlah pemanfaatan BPJS Kesehatan telah mencapai 223,4 juta di sepanjang 2017. Sementara itu jumlah peserta asuransi nasional ini telah bertengger di angka 198,20 juta hingga saat ini.

“Tadinya orang tidak bisa mengakses (layanan kesehatan-red), sekarang pemanfaatannya sudah sampai 612 ribu per hari kalender”, kata Nopi (30/6).

Dibandingkan dengan awal pengelolaannya pada 2014 lalu, kenaikan signifikan terhadap pemanfaatan memang terjadi. Tenaga ahli Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) Hasbullah Thabrany mengatakan, kenaikan pemanfaatan inilah yang pada akhirnya membuat klaim untuk pembiayaan jaminan kesehatan menanjak belakangan ini.

“Kenaikan klaim orang yang menggunakan itu 30% lebih”, kata Hasbullah. (2/7)

Menurut catatan BPS sebanyak 13,03% penduduk Indonesia mengalami keluhan sakit pada 2016 silam. Artinya ada sekitar 33,88 juta penduduk yang memerlukan pengobatan.

Menilik data tersebut terdapat kemungkinan penderita memanfaatkan jaminan kesehatan BPJS untuk penanganannya. Pasalnya sebanyak 30,75% dari jumlah tersebut memilih puskesmas untuk pengobatan keluhan sakitnya. Lainnya sebanyak 7,37% menjadi pasien rumah sakit pemerintah.

Di satu sisi fakta ini tentu menggembirakan. Bagaimana tidak, sekarang tiap peserta yang jumlahnya telah mencapai 74% dari total penduduk Indonesia bisa berobat secara cuma-cuma. Namun mesti disadari, banyaknya pemanfaatan yang dilakukan oleh peserta tak ayal menjadi beban yang tak sedikit pula bagi BPJS Kesehatan.

Besar Pasak
Mengutip pernyataan Hasbullah bahwa lonjakan pemanfaatan bahkan telah mencapai dua digit dalam beberapa tahun terakhir. Menjadi tidak berimbang karena melambungnya biaya pemanfaatan ini tidak sebanding dengan total iuran peserta yang masuk kantong BPJS. Alhasil dari sejak diresmikan pada 2014 neraca defisit selalu menjadi langganan BPJS Kesehatan.

Pada 2017 laporan keuangan BPJS Kesehatan berdasarkan aktivitas mencatatkan selisih hingga Rp14,47 Triliun untuk arus kas dari kegiatan operasinya. Tingginya selisih ini dikarenakan total penerimaannya yang hanya mencapai Rp78,35 triliun. Di sisi lain, beban yang mesti ditanggung mencapai Rp92,82 triliun.

Sebagian besar defisit yang tercetak di tahun lalu dihasilkan oleh selisih antara penerimaan iuran dari peserta BPJS Kesehatan dengan biaya jaminan kesehatan yang mesti dibayarkan. Untuk diketahui, pada tahun lalu klaim yang mesti dibayarkan BPJS Kesehatan mencapai Rp84,44 triliun. Bertaruh pada iuran pun tidak mencukupi karena penerimaan dari sektor tersebut hanya Rp74,25 triliun. Artinya ada kekurangan dana untuk pembayaran klaim peserta BPJS Kesehatan sebesar Rp10,19 triliun.

Defisit perbandingan iuran dan beban klaim pada 2017 merupakan yang terbesar sejak tahun 2014. Pasalnya, rata-rata mismatch iuran dengan beban klaim dari 2014—2107 terpatok di angka Rp. 4,09 triliun.

Kian besarnya angka defisit ini disebabkan karena tidak ada penyesuaian iuran peserta. Dari tahun 2016 Pemerintah kukuh menetapkan iuran untuk kelas tiga sebesar Rp25.500; kelas II sebesar Rp51.000; dan kelas I senilai Rp80.000. Di sisi lain, animo masyarakat untuk menggunakan asuransi nasional ini semakin meraksasa.

Geliat masyarakat yang demikian kuat menggunakan pemanfaaatan BPJS Kesehatan diakui pula oleh Koordinator Advokasi BPJS Wacth Timboel Siregar. Makin meluasnya rentang defisit lembaga nirlaba tersebut karena masyarakat tidak merasa takut lagi pergi ke fasilitas kesehatan dengan menggunakan jaminan kesehatan ala BPJS yang bisa dibilang sangat murah.

“Bagi orang yang enggak punya uang, cukup dia mengiur sebulan saja yang Rp25.500, yang Rp51 ribu sebagainya. Ketika sakit, dia tidak perlu lagi biaya ring sekian ratus juta. Biaya stroke sekian, enggak lagi karena sudah ditanggung BPJS”, papar Timboel Siregar. (28/6)

Tunggakan
Pada akhirnya kondisi yang tidak berimbang ini membuat rumah sakit-rumah sakit pun kewalahan. Tidak hanya mesti menghadapi pasien yang membeludak, klaim mereka pun menjadi sulit terbayar.

“Waktu itu sih ada Rp3,6 triliun di November 2017. Ditransfer sama pemerintah untuk menutupi pembiayaan ke rumah sakit, tapi ternyata defisitnya tinggi kewajibannya tinggi. Jadi itu pun kurang,” ungkap Timboel.

Untuk menutupi sebagian defisit BPJS Kesehatan Pemerintah Pusat menggelontorkan dana tambahan untuk organisasi ini. Sebesar Rp3,6 triliun dikirimkan untuk menambal selisih neraca BPJS Kesehatan. Setelah sebelumnya pada tahun 2016 Pemerintah menyuntikkan dana penyertaan ke BPJS Kesehatan sebesar Rp6,8 triliun. Namun itu pun belum cukup.

Defisit maupun tunggakan terhadap pelaksanaan jaminan kesehatan seakan menjadi masalah yang tidak pernah terselesaikan. Timboel memperkirakan dalam dua bulan awal tahun ini saja, defisit Rp1,9 triliun telah dicetak oleh si penjamin kesehatan negara ini. Yang pada akhirnya, tunggakan ke rumah sakit tersebut akan membuat pelaksanaan jaminan kesehatan masyarakat pun menjadi tidak optimal.

“Aakibatnya rumah sakit terganggu. Bagaimana dia bisa beli obat, bagaimana dia bayar dokternya kalau uangnya nggak masuk. Nah, ujung-ujungnya pasien lagi yang menerima masalah”, lanjutnya.

Besarnya beban jaminan kesehatan ala BPJS Kesehatan dikarenakan tingginya klaim dari Fasilitas Kesehatan Tingkat Lanjutan (FKTL). Timboel menyebutkan, biaya berobat dari pemanfaatan BPJS Kesehatan habis di rumah sakit-rumah sakit, kisarannya 84% dari total beban jaminan kesehatan.

“Puskesmas dan Dokter Praktik itu kan menghabiskan 16% biaya jadi tidak terlalu terpengaruh. Yang paling banyak di rumah sakit,” ujarnya

Jika pada 2017 total beban jaminan kesehatan BPJS Kesehatan adalah Rp84,44 triliun; sebanyak Rp70,93% dihabiskan untuk berbagai pengobatan dan tindakan di rumah sakit.

Mengutip publikasi Badan Pusat Statistik (BPS) berjudul “Profil Statistik Kesehatan 2016”, tren rawat inap secara nasional memang mengalami perkembangan yang cukup signifikan dalam periode 2014—2016. Pada 2014 pasien rawat inap hanyalah 2,50% dari total penduduk. Namun pada 2016, persentasenya telah mencapai 3,74%.

Nopi Hidayat menolak apabila dikatakan lembaganya kerap menunggak biaya pengobatan ke rumah sakit. Ini karena memang diperlukan prosedur yang cukup panjang dari klaim rumah sakit hingga pembayaran oleh BPJS Kesehatan. Namun ia menegaskan apabila klaimnya telah terverifikasi, tenggat pembayarannya adalah 15 hari. Jika tidak BPJS bisa dikenai denda 1% dari klaim pihak yang bersangkutan.

“Sampai dengan saat ini terus dilakukan pembayaran sesuai dengan jadwal jatuh temponya. Jadi prinsipnya, BPJS Kesehatan itu terus melaksanakan kewajibannya sesuai dengan komitmen yang berlaku”, serunya.

Nopi menerangkan saat ini rumah sakit yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan terus bertambah tiap tahunnya. Tidak ditemukan pula adanya rumah sakit yang mengundurkan diri dari kerja sama dengan sang pengelola asuransi keseharan nasional ini.

Berdasarkan data BPJS Kesehatan total FKTL yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan per akhir 2017 mencapai 2.268 unit. Padahal pada tahun 2014, FKTL yang bekerja sama hanya sebanyak 1.681 unit. Artinya, ada penambahan 587 FTKL dalam jangka waktu 4 tahun.

Mayoritas FKTL yang bekerja sama dengan BPJS adalah rumah sakit swasta. Persentasenya mencapai 60,45%. Sementara itu 31,04% FKTL merupakan rumah sakit pemerintah daerah. Sisanya adalah rumah sakit yang dikelola oleh Pemerintah Pusat.

“Sistem penagihan itu dinamis. Yang dikatakan belum dibayar itu bisa jadi posisinya sudah dilayani. Atau sudah dilayani, tapi belum di-entry sebagai tagihan”, tukas Nopi.

Komitmen boleh jadi besar, Hanya saja fakta adanya tunggakan tidak boleh diabaikan. Tidak hanya merugikan rumah sakit, tunggakan tersebut juga bagai bumerang bagi BPJS Kesehatan. Timboel menerangkan, adanya denda 1% dalam regulasi yang mesti dibayarkan BPJS Kesehatan apabila telat membayar dapat menjadi potensi yang membuat defisit akhir tahun kian menanjak.

“Tadinya dia cuma mau bayar 10 perak. Karena denda, denda, denda dan sebagainya, ya akhirnya dia muncul tuh tambahan biaya dan membengkak”, lanjut Timboel

Mengenai tunggakan ini Hasbullah mencoba melihatnya dari sudut pandang lain. Tidak melulu karena dana yang tidak ada, tunggakan pun kerap muncul karena tidak lengkapnya persyaratan administrasi dari rumah sakit yang menuntut maupun BPJS Kesehatan sendiri.

“Itu pertama memang bisa jadi kelengkapan klaimnya yang tidak memadai. Bisa jadi pemeriksaannya atau verifikator tertunda di BPJS,” ujar Hasbullah.

Opsi Penyelamatan
Terhadap defisit yang senantiasa mengikuti laporan keuangan BPJS Kesehatan. Nopi menjelaskan bahwa ada 3 Opsi yang bisa diambil pemerintah untuk kembali menyehatkan keuangan organisasi ini.
Pertama, yakni dengan menaikkan iuran. Namun itu tidak dilakukan pemerintah. Padahal dari awal pun sudah diketahui bahwa besaran iuran saat ini memang berada di bawah nilai keekonomian.

“Pemerintah sudah tidak ingin membebani masyarakat. Itu makanya iuran tidak dinaikkan”, ujar Kepala Humas BPJS ini.

Hasbullah mengakui bahwa besaran iuran BPJS Kesehatan saat ini memang sangat minim. Idealnya jika pemanfaatannya hendak dimaksimalkan, iuran BPJS Kesehatan mesti berada di angka Rp100—150 ribu per tingkat kelas.

“Kenapa enggak menaikkan iuran, ya supaya engga ada yang protes. Padahal, barang-barang lain itu sudah jelas naik. Harga BBM naik, itu orang bayar juga. Paling orang protes seminggu dua minggu”, kata Hasbullah.

Opsi penyelamatan keuangan BPJS Kesehatan kedua yang bisa dilakukan pemerintah adalah dengan menurunkan benefit. Mengenai hal ini juga sempat viral mengenai Pemerintah akan memberlakukan sharing biaya dengan pasien terkait biaya pengobatan. Penyakit-penyakit berbiaya tinggi yang menjadi incarannya, yakni 10 jenis penyakit katostropik.

Namun hingga saat ini hal tersebut tidak menjadi pilihan. Pasalnya dalam peraturan BPJS Kesehatan melakukan pemanfaatan secara komprehensif. Tidak menganaktirikan penanganan terhadap jenis penyakit tertentu.

Lagipula jika cost sharing diarahkan ke penyakit katostropik, hal tersebut menjadi kian tidak adil. Pasalnya meskipun berbiaya tinggi, persentase beban biaya untuk jenis penyakit tersebut hanya sekitar 20% dari total pembiayaan jaminan kesehatan. Tepatnya haya Rp16,7 triliun yang dikeluarkan untuk klaim 10 penyakit katostropik.

“Itu untuk penyakit katospropik itu kalau 2017 sekitar 15,102 juta pemanfaatan,” imbuh Nopi.

Mengenai opsi membagi biaya pengobatan dengan pasien, Hasbullah merasa hal ini sebenarnya dapat menjadi jalan penyelamatan keuangan BPJS Kesehatan. Tentunya jika ini diikuti oleh perbaikan layanan dari petugas medis. Di Luar Negeri skema cost sharing semacam ini tidaklah aneh.

Hanya saja pengenaan cost sharing tidak boleh berat sebelah. Artinya jika skema ini hendak dijalankan, penerapannya harus ke semua penyakit dan ke seluruh fasilitas kesehatan.

“Lakukan saja semua untuk rawat jalan misalnya di rumah sakit, misalnya Rp20 ribu. Orang mau bayar untuk rawat jalan tingkat pertama 20 ribu itu. Orang mau bayar daripada ditolak atau dibatasi,” tuturnya.

Tidak dipilihnya opsi menaikkan iuran maupun pembagian biaya dengan pasien, lebih disebabkan oleh alasan politik. Apalagi menjelang tahun 2019, diyakininya pemerintah tidak akan berani untuk memilih kedua opsi penyelamatan tersebut.

Nyatanya memang demikian selama empat tahun terakhir, pemerintah mengambil langkah ketiga untuk menutupi defisit BPJS Kesehatan. Apalagi jika bukan menyuntikkan dana kepada organisasi nirlaba ini.

“Karena ini adalah program pemerintah yang sangat baik dan dilindungi undang-undang. Peraturan itu clear menyatakan pemerintah bisa memilih untuk menyuntikkan dana untuk keberlangsungan program”, lanjutnya.

Total dari tahun 2014—2017 Rp15,9 triliun telah digelontorkan pemerintah ke BPJS Kesehatan. Hanya saja terbukti, suntikan tersebut tidak membantu banyak kondisi keuangan BPJS Kesehatan. Soalnya defisitnya berkali-kali lipat lebih besar dibandingkan asupan dana dari pemerintah. Asal tahu saja, total defisit layanan penjaminan BPJS Kesehatan dalam periode yang sama sebesar Rp16,37 triliun.

Untuk terus menambal defisit teesebut Kementerian Keuangan kini tengah menyiapkan regulasi yang mengatur dana bagi hasil cukai tembakau dan pajak rokok daerah untuk pembiayaan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

“Kemarin kan sudah ada bauran kebijakan. Tinggal menunggu Perpres-nya. Kita sudah bahas antar-Kementerian; Kementerian Kesehatan, Kemen PAN sendiri di bawah koordinasi Menko PMK. Sudah dijalankan. PP-nya sudah diajukan Presiden”, ujar Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo. (2/7).

Setelah Peraturan Presiden (Perpres) keluar langkah berikutnya menurut Mardiasmo adalah menyusun aturan turunannya berupa Peraturan Menteri Keuangan (PMK).

Mardiasmo melanjutkan pemanfaatan sebagian penerimaan cukai rokok dan pajak rokok daerah untuk BPJS Kesehatan merupakan perbaikan di sisi supply.

“Iya JKN, ada yang perbaikan supply side, ada yang perbaikan demand side. Kalau cukai termasuk pada supply side-nya. Nah jadi kita kerja sama dengan semua pengemban kebijakan, kita optimalkan”, katanya.

Hasbullah pun tidak menyalahkan suntikan dana tersebut. Menurutnya pemerintah memang harus menjadi pihak yang bertanggung jawab untuk masalah program jaminan kesehatan nasional ini. Hanya saja hal tersebut tidak bisa terus-menerus dilakukan. Penyesuaian iuran dipandang sebagai jalan paling logis jika ingin BPJS Kesehatan berumur panjang.

Tidak hanya soal iuran guna memastikan defisit BPJS Kesehatan tidak kian menjadi, Ketua Komisi IX DPR, Dede Yusuf, meminta pemerintah untuk mewaspadai tunggakan peserta BPJS Kesehatan. Diketahui pada tahun 2017, ada sekitar 12 juta peserta BPJS yang menunggak pembayaran premi.

Pada intinya defisit BPJS Kesehatan tidak bisa dibiarkan terus-menerus terjadi. Meskipun bukan sebagai lembaga profit, adanya mismatch yang demikian besar dan menahun bisa berdampak buruk pada kualitas pelayanan yang diterima pasien. Padahal kini minat masyarakat untuk berobat menggunakan BPJS Kesehatan makin besar.

Jika defisit ini terus dibiarkan tunggakan kian meninggi hingga pelayanan dari rumah sakit menjadi ogah-ogahan dan pesertalah yang paling dirugikan. Komitmen pemerintah untuk menyelenggarakan jaminan kesehatan nasional pun akan hancur berantakan. (tvN)


There is no ads to display, Please add some

Related posts

57.655 Pemilih Di Cerme, Datangi 216 TPS Gunakan Hak Suara

Penulis Kontroversi

MK Sudah Terima Permohonan Audiensi KPU

Penulis Kontroversi

Persatuan Rumah Sakit Surabaya Menolak Aturan Baru BPJS Tentang Rujukan Berobat

Penulis Kontroversi

2 comments

Ultrapex Keto Blend July 6, 2018 at 11:42 am

Heya i’m for the first time here. I found this board and I find It really useful &
it helped me out much. I hope to give something back and help others like you helped me.

Reply
UltraTrim Garcinia August 17, 2018 at 4:40 pm

I am regular visitor, how are you everybody?

This article posted at this website is truly good. http://www.oskaras.com/sites/url.php?url=http://twitter.buy-social-website-traffic.com/blogs/viewstory/24817

Reply

Leave a Comment